Wednesday, February 27, 2008

Semalam di Mukomuko Bengkulu

Gempa di Bengkulu lagi, kali ini 7,2 skala richter, disertai tambahan: Berpotensi Tsunami. Semua heboh, namun ada yang senang, tentu saja produser2 yang acaranya tayang sore, sebab sampai senin sore belum ada berita yang nendang. Ada gempa tentu ada yang baru.

Aku masih ngopi di warung sambil istirahat ketika HP berbunyi. Penugasan ke Mukomuko. Semua serba mendadak dan harus berangkat selasa subuh. Selasa pagi aku dan Arif Firmansyah, kameramen sudah tiba di Bengkulu. Seminggu lalu aku ke Semarang, ikut Dirjen ngambil gambar udara kemacetan Pati, kala itu aku sendirian pegang kamera, kali ini lumayan ada kameramen dan bawa peralatan streaming segala.

Konrtibutor Bengkulu, Syafran sudah menunggu di bandara, dia udah carikan mobil carter. Sehabis sarapan kami langsung meluncur ke Mukomuko yang berjarak 300 km dengan harapan masih sempat ngirim gambar buat tayangan sore.

Apa yang terjadi? Di Mukomuko justru tenang-tenang saja. Bah! Kek mana mau ngirim berita ini? Sama sekali tidak ada pengaruh, kota tetap ramai dan tidak ada kerusakan. Jakarta sempat nggak percaya. "Masa sih nggak ada yang rusak," kata Senprod kami yang baru, Charles Meikyansyah. Begitulah, macam mana awak mau merusak-rusak kalau memang gak ada yang rusak.

Akhirnya aku putuskan itu aja yang jadi berita. Bahwa Mukomuko normal, tak ada kepanikan. Jam 4 sore kami udah mutar2 nyari warnet. Ya ampun, ternyata gak ada warnet disana. Kami pun nyari penginapan agar bisa dapat colokan listrik dan bisa menghidupkan laptop. Akhirnya dapat di Wisma Mama, lumayan juga walau pun TVnya pakai sistem sentral.

Kami pun coba kirim gambar, kali ini pakai Telkomsel Flash. Hidup Dunia! internet kebuka, kirim bisa. Namun, ya ampiunnn, lambreta alias lambat sekali. Pasti karena disana hanya ada sinyal GPRS, bukan 3G. Alhasil, gambar semenit yang dikirim jam 4 sore, baru kelar jam 9 malam. Maka beritanya pun gak bisa di MHI dan Top9. Kemana-mana pun gak bisa karena harus jagain laptop di penginapan.

Humas Pemda Mukomuko sempat menelepon, katanya memang gak ada kerusakan. Bahkan, saat gempa mereka malah sedang meriah melaksanakan perayaan HUT ke-5 Kab Mukomuko. Sehingga data apa pun belum ada tercatat. Besoknya, Bupati dan Humas juga belum bisa memberi keterangan karena katanya ada acara peresmian dua kecamatan pemekaran.

Daripada bingung-bingung, sehabis sarapan kami pun ambil liputan antisipasi warga menghadapi tsunami. Soalnya banyak sekali rambu-rambu keselamatan kalau tsunami tiba yang terpasang disana. Kami sempat ke pantai segala untuk menambah gambar.

Kemana lagi? Ya pulang ke Bengkulu, mudah2an ada liputan di jalan. Benar saja, pas di Desa Bunga Tanjung, ada SD yang masih belajar di tenda. Padahal mereka korban gempa September 2007 lalu. Insting jurnalistikku mengharuskan kami singgah dan meliput. Benar saja, guru2 senang sekali kami datang. Soalnya mereka sudah kesal tidak ada bantuan pembangunan sekolah. 3 tenda yang ada sekarang tinggal satu, karena 2 hari sebelumnya 2 tenda rusak diterjang angin. Sekarang siswa yang semula di 2 tenda itu, pindah ke bangunan yang nyaris ambruk karena tidak ada pilihan lain.

Para siswa belajarnya sengaja menghadap pintu, agar bisa cepat menyelamatkan diri kalau gempa datang. Bangunan itu memang tidak layak sama sekali. Dinding belakangnya sudah tidak ada, dindingnya retak dan atapnya sudah tidak beraturan.

Tapi mengapa bantuan gempa tak sampai ke mereka ya? Soalnya sepengetahuan kita semua, masalah bantuan gempa di Bengkulu ini sudah selesai. Ternyata itu hanya di tingkat atas. Kenyataannya di lapangan, anak-anak masih belajar di tenda. Untung saja Gempa Senin lalu tak merontokkan bangunan di Mukomuko. Kalau ini terjadi bagaimana lagi nasib para korban? Soalnya sisa gempa tahun lalu saja belum tersentuh...

Sekarang (rabu sore) kami sudah di Bengkulu. Menikmati semalam di Mukomuko dan semalam di Bengkulu, negeri Raflesia yang konon ditukarguling dengan Singapura oleh Belanda dan Inggris. Tapi kok Belanda begok benar ya, mau aja nukar Bengkulu dengan Inggris. Bagi Bengkulu, tukar guling Bengkulu dari Inggris ke Belanda adalah satu kesalahan, coba mereka tetap jajahan Inggris, barangkali nasibnya akan berbeda dengan bekas jajahan Belanda yang lain. Ah, andai saja negeri ini benar-benar diurus dengan benar...

Tuesday, February 05, 2008

Derita Ibu Kota, Derita Kita Juga

Alamak Jang, Jakarte kite banjir lagi. Saya kena getahnya lagi gara-gara banjir kali ini. Tahun lalu, motor masuk bengkel karena kerendam. Kali ini badan yang kerendam karena harus nyeberangin banjir.

Jum'at lalu hujan udah turun sejak malam. Kita yang udah paham dengan Jakarte, udah yakin bakalan ada banjir. Makanya pas berangkat ke kantor usai Jum'atan, motor ditinggal aja. Benar aja, pas di perempatan Ciledug, Kopaja 16 yang menuju Tanah Abang udah gak narik lagi. Terpaksa lah kita naik angkot sampai ke lokasi banjir. Benar saja, di depan perumahan Metro Permata, ribuan orang sudah tumpah ruah dengan kesibukan masing-masing. Air sudah setinggi kemaluan orang dewasa (minjam istilahnya reporter-reporter TV dari lapangan itu, he he he).

Orang-orang sudah mulai menyeberang. Ongkosnya 20 ribu untuk orang dan 50 ribu sepedamotor. Wah, kalau begini bisa bangkrut karena ada 3 lokasi banjir yang harus dilalui. Akhirnya aku nekat menyeberang dengan jalan kaki. Baju dan celana dalam ganti sudah di dalam tas, dipersiapkan dari rumah. Benar saja, airnya pas setinggi perut orang dewasa yang pendek, atau setinggi kemaluan orang dewasa yang agak tinggi. Ada juga yang setinggi dada orang dewasa (makanya kurasa istilah para reporter ini salah kaprah). Airnya deras sekali, beberapa motor dan mobil yang nekat akhirnya mogok di tengah jala. Selamat nyeberang ternyata masih ada dua genangan lagi.

Pas menjelang tanjakan tol Karang Tengah, air sudah tidak ada tapi angkot yang gak ada. Terpaksalah jalan kaki lagi ke Mal Puri. Disana baru naik angkot ke kantor. Di kantor suasananya sudah siaga. Banyak rekan yang libur. Ada yang memang kehambat banjir, ada yang iseng aja libur karena pas ada alasan banjir.

Kalau begini terus, mampus lah kita yang di Jakarta ini. Bagaiamana kalau kita tanya pada AHLINYE?