Wednesday, May 28, 2008

Berbagi Cerita di Ciputat...

Cuti yang kuambil selama 2 minggu berlalu sudah. Tak ada kemana-mana, hanya di rumah saja. Ditambah sakit demam yang membuat kami berempat sama-sama berobat ke rumahsakit. Perawat di RS Sari Asih Ciledug sampai komentar, "sakitnya kompak ya, Pak".

Mengisi waktu, kami main ke Ciputat. Rumah Uci atau Tante yang masih sekampung. Karena sebaya, aku panggil Kakak saja dia. Di kampung kami gak terlalu kenal, karena yang sebaya denganku adalah adiknya yang bungsu. Dia sendiri sudah merantau sejak aku masih SD di kampung. Tapi satu kampung dan senasib di rantau menjadikan kami sangat dekat.

Pas hari pertama kenaikan BBM, kami parkirkan motor di Plaza CIledug (ini dipilih karena parkirnya masih Rp 1000 tanpa limit, lebih murah dibanding parkir di Carrefour CBD Ciledug yang parkirnya pakai hitungan jam). Lalu lanjutkan naik angkot ke Lebak Bulus. Sopir rupanya sudah naikkan tarif tanpa ba-bi-bu, dari 5 ribu jadi 6 ribu. Tinggallah penumpang yang mengumpat dalam hati.

Dari Lebak Bulus, ganti angkot ke Pasar Ciputat dan disambung lagi yang ke arah Parung. Rumah Kak Ami ini ada di sekitar kelurahan Cipayung, di pinggir jalan besar. Anaknya dua, Hafiz dan Wada. Seumuran pula dengan anakku, jadi klop lah sudah. Anak-anak puas-puasin main, kami pun puas-puasin ngobrol sana sini.

Dulunya mereka mengelola bengkel yang cukup besar disana, dan mereka diberi izin tinggal di bengkel itu. Sejak banyaknya bengkel yang pakai sistim komputer, bengkel mereka bangkrut. Untunglah pemilik bengkel masih mengizinkan mereka tinggal disana. Sudah sejak beberapa bulan lalu Kak Ami ini pengen pulang kampung aja. Karena sudah gak betah di Jakarta. Suaminya yang mekanik, banting stir belajar Sipil dan mulai usaha pembangunan menara GSM di daerah Bandung. Saat kami ke rumahnya, suami Kak Amis kebetulan sedang pulang dan ada di rumah, itu baru kali pertama kami bertemu karena biasanya ia ada di luar kota.

Kak Ami ini sebulan lalu pernah nekat ke rumahnya Aburizal Bakrie. Memang Ical itu masih ada hubungan saudara jauh dengannya, dengan kami juga tentunya. Neneknya Ical itu berasal dari sebuah desa Kampung Pakantan yang sekarang sudah tinggal hutan.

Almarhum ayah Kak Ami ini pernah berpesan agar dia sesekali datang ke rumahnya Ical dan menjalin silaturahmi. Karena sedang HABIS PIKIR, dia pun nekat datang kesana. Hampir seminggu berturut-turut dia menguntit Ical, dari Kantor hingga rumah. Namun yang didapat hanya kekecewaan. Dari awal aku udah beri gambaran bagaimana susahnya dan tak akan ada tanggapan. Namun Kak Ami yang tamatan D3 AMIK PAdang ini nekat juga, dia berharap Ical akan memberi sedikit peluang kerja padanya, minimal di perkebunan sawit Bakrie yang ada 2 di Pasaman Barat.

Ajudan dan Satpam ICal tak pernah memberi izin, hingga Kak Amis pulang dengan satu keyakinan baru bahwa ternyata benar orang kaya tak bisa berfamili... Sejak saat itu dia menghapus keinginannya kerja di kantoran dan pulang kampung. Dia pun banting stir buka warung makanan sederhana di bekas bengkelnya. Dia jual Gado-gado dan nasi Padang. Posisinya di bekas bengkel yang dekat dari kolam renang Mbok Berek Ciputat.

Kak Ami punya dua anak, Hafoz dan Wada. Uniknya si Hafiz ini gak mau lagi dipanggil Hafiz. Sekarang ia minta ganti nama jadi IQBAL aja. Alasannya ada tetangga mereka yang namanya Hafiz juga tapi anaknya nakal sekali. Jadi ia gak mau dianggap nakal kayak si Hafiz tetangga mereka itu.

Bercerita memang mengasyikkan. Sampai tak terasa hari sudah sore, dan kami bersiap untuk pulang ke Ciledug. Anak-anak yang sedari pagi main-main di halaman yang bekas bengkel, awalnya gak mau pulang. Baron sampai nangis-nangis gak mau pulang.

nb: berhubung komputernya gak bisa upload foto di blog ini, maka fotonya bisa dilihat di album foto ya...

Wednesday, May 21, 2008

Ketika yang Menolong Hanya Selembar Kartu Sakti











Hari baru pukul 10 saat aku bergegas naik ke lantai dua Plaza Cileduk. Hari itu aku harus ada uang untuk keperluan mendesak. Ya, sudah beberapa kali Bang Ryan ini yang menyelamatkan kami. Sayang sekali, kali ini aku harus kecewa, toko Bang Ryan yang tersembunyi di sudut plaza yang sesak.

Sejak ke Jakarta, Bang Ryan cukup sering membantu keuangan kami kala mendesak. Bang Ryan bukan family, ia hanya seorang pedagang yang menerima tarik tunai kartu kredit. Aku pun tau dari iklan keciknya di koran. Tarik tunai di tempat dia ini seolah kita membeli barang elektronik, namun kita diberi cash. Ia dapat untung dari biaya sekitar 4 persen. Biasanya ia akan nanya mau bersih apa kotor?

Kalau bersih artinya kalau kita minjam 1 juta, maka kita terima satu juta bersih namun di kwitansi tertulis rp 1.035.000, yang 35 ribu buat dia. Kalau kita mau terima kotor, berarti di kwitansi tertulis pas rp 1 juta namun kita nerimanya rp 965.000 atau 1 juta kurang bagian dia.

Pada kawan-kawan sering aku bilang, bahwa kalau hidup di Jakarta ada dua syarat utama, Pertama, HARUS KAYA dan kedua HARUS SABAR.

Kaya, karena semua serba mahal dan butuh biaya. Sejak pindah ke Jakarta aku harus mengeluarkan banyak biaya yang sebelumnya gak pernah ada budgetnya. Sewa rumahlah dan sebagainya.

Sabar, karena kita mesti berhadapan dengan macet, banjir, lalu lintas yang amburadul dan kelauan orang yang bermacam-macam. Aku sendiri kayaknya udah bisa sedikit sabar, sayangnya belum KAYA-KAYA.

Alhasil, setiap bulan selalu MANTAB alias MAKAN TABUNGAN. Parahnya, sudah makan tabungan, minus pula dan mesti ada subsidi baru. Dan jalan terakhir adalah TARIK TUNAI dari KARTU KREDIT yang akan dilunasi secepat mungkin pas gajian.

Dan hiduppun macam lagu Bang Rhoma Irama, Gali Lobang Tutup Lobang....

Aku sudah punya kartu kredit sejak 5 taun lalu. Dulu memang gunanya tak sering ada. Hanya buat kondisi mendesak aja. Namun dulu tetap ada ada godaan buat beli barang. Misalnya elektronik dan HP. Alhasil, bayarnya susah.... Akibatnya pernah aku hanya sanggup bayar bunga saja sementara hutangnya gak berkurang sama sekali.... Untung aku cepat sadar dan tutup semua hutang, kalaun tidak, entah bagaimana leher terjerat kartu BIADAB itu...

Sejak ke Jakarta, tiba-tiba hubungan kami dengan Kartu Kredit itu makin mesra aja. Maklum keperluan uang makin banyak sementara teman bagi masalah atau teman pinjam duit gak ada... Saudara juga jauh semua. Alhasil, kartu Citibank dan BNI yang aku punya pun menjadi Saudara Terkandung....

Suatu malam, anak kami Baron sakit. Muntah dan mencret.... Seharian gak sembuh... Obat tak mempan... Daun jambu yang direbus sudah diminumkan berkali-kali... Mencretnya makin parah, air besarnya malah sudah air semua... Sementara uang gak ada... Sementara kartu askes yang kami punya hanya bisa digunakan dengan pakai uang sendiri dulu...

Akhirnya kami nekat membawanya ke rumahsakit. Benar saja, di UGD ia muntah ke baju dokternya. Kontan saja sang dokter langsung perintahkan opname. Saat mendaftar di loket, aku pun diwajibkan menyetor deposit satu juta lebih... Pusing, mau nyari uang kemana?

Untung mereka cepat memberitahu bahwa bisa pakai kartu kredit... Maka dengan gagahnya, sang kartu membantu kami saat itu. Sejak saat itu, kami sering berkelakar bahwa satu-satunya family di kota besar ini hanya MBak Siti.... Maksudnya Citibank...

Kejadian berlanjut, Baron kembali sakit diare. Semua gara-gara air yang kotor... Kami merasa tertipu pemilik rumah. Kami tawarkan perdalam sumur bor dengan biaya setengah-setengah dia tetap gak gubris. Apa boleh buat, kami harus pindah meski kontrak rumah masih sisa 7 bulan... Sekali lagi, Mbak Siti (Citibank) menjadi dewa penyelamat, pada saat yang pas, aku ditawari Personal Loan sebagai fasilitas pengguna kartu kredit Citibank... dan akhirnya kami bisa pindah dan hidup sedikit lebih sehat...

Persoalan ternyata belum selesai... Beberapa kali kami mesti pontang panting mengatur keuangan....Hingga akhirnya tak ada jalan keluar selain minjam... Dan jalan satu-satunya hanya TARIK TUNAI lewat merchant, bukan lewat ATM. Sebab, kalau tarik tunai lewat ATM bunganya besar sekali. Sementara kalau tarik tunai dari toko bunganya sesuai dengan bunga belanja.

Seperti Bang Ryan, dia buka tokonya adalah toko elektronik merk tertentu, sekarang di tokonya juga jual handphone. Namun jualan sebenarnya adalah Alat atau mesin pembayaran kartu kredit itu... Dulu pas aku pertama kesana, Bang Ryan nampaknya juga baru bisnis itu, sebab ia saat itu juga masih kaku dan sempat salah ngetik jumlah uang segala.

Kembali ke cerita tadi, setelah siangnya melihat toko Bang Ryan tutup, sorenya aku beranikan lagi datang kesana. Bak menemukan harta karun, aku senang sekali melihat toko kecil itu buka. Melihat aku, Bang Ryan udah langsung paham. Ia pun langsung basa-basi bahwa memang baru buka karena harus membawa anak-anaknya rekreasi karena hari libur sekolah...

Transaksi pun lancar, Segepok uang berpindah ke dalam dompetku... Mudah-mudahan segera ada ganti buat membayarnya, karena akan susah kalau tak dibayar segera...

Sebenarnya toko seperti Bang Ryan ini banyak sekali. Sebelum dengan bang Ryan, aku juga pernah tarik tunai di toko travel dan toko emas. Biasanya mereka memang liat-liat dulu orangnya. Malah awalnya, aku mesti ditemani teman yang dari Bank, baru mereka mau melayani.

Di Medan, di toko emas yang ada tarik tunainya, aku diberi kartu agar setiap tarik tinggal memperlihatkan kartu itu saja sebagai identitas agar mereka segera tahu kalau kita udah pernah kesitu...

Berutang memang bukan pilihan, namun pada saat-saat tertentu berutang menjadi keharusan....

Kalau bisa memilih, aku ingin rasanya menggunting dua kartu kredit yang ada di dompet. Namun mengingat kondisi, rasanya masih butuh pertolongan mereka suatu saat nanti...

Beruntunglah orang-orang yang berkecukupan sehingga tak harus pusing pikir macam-macam soal keuangan rumahtangga.

Banyak orang yang takut pakai kartu kredit. Dan memang jangan sembarangan pegang kartu kredit, walau sakti dan berjasa pada kondisi darurat, kalau tak mampu menahan selera, kita bisa dijeratnya... Namun kalau mampu mengendalikan, kartu itu memang menjadi kartu sakti yang berjasa sekali.

Tipsnya sedikit saja, jangan pakai buat konsumsi, jangan pakai buat keperluan yang tidak mendesak. kalau pun harus tarik tunai, tarilah dari toko, jangan sesekali tarik tunai dari ATM. Dan terakhir, menabunglah agar di akhir bulan masih ada yang akan dikuras....

Monday, May 19, 2008

Susahnya Mikirin Sekolah...

Tahun ini anakku Queena sudah masuk SD. Kami sudah siap-siap nyari sekolah. Namun ya Ampunnn, biayanya besar sekali...

Beberapa teman TK-nya sudah mendaftar di sekolah swasta. Biayanya antara 2,5 hingga 10 juta. Sebuah hal yang sedang tak sanggup kami lakukan saat ini. Makanya yang terpikir adalah masuk ke SD Negeri.

Dari beberapa orangtua teman TKnya, diberitahu bahwa di SD negeri biaya pun lumayan mahal. Akan habis juga sekitar 1,5 juta-an. Itu pun masuknya harus pakai antri ambil formulir sejak subuh.

Sabtu lalu, aku sempatkan mampir di SDN 1 Pinang, maksudnya mau nanya kapan pendaftaran dimulai. Disana sama sekali gak ada pengumuman apa-apa. Mungkin karena anak-anak sedang ujian. Yang mendatangiku justru seorang pemuda, entah preman entah tukang parkir yang mencoba menjelaskan bahwa pembukaan siswa baru baru akan buka bulan Juni. Ya sudahlah, aku pun pulang.

Ternyata mau masuk sekolah aja susah. Bertolak belakang dengan keinginan pemerintah agar semua warganya sekolah, minimal SD. Aku jadi terpikir bagaimana yang keluarganya gak mampu ya? Darimana mereka membiayai semua itu? Karena sejak dana BOS ada, sekolah justru menerapkan uang buku dan semuanya lebih tinggi, katanya untuk ini dan itu.

Bahkan kata orangtua teman anakku, ia bisa menitip pengambilan formulir ke salah seornag guru dengan biaya 65 ribu. Ini keterlaluan. Aku jadi ingat di kampung, disana, kalau masuk sekolah yang masuk aja. Sudah. Gak mesti pusing-pusing. Pantas aja di Jakarta ini orang-orang berlomba masuk sekolah swasta. Di kampungku, orang masuk swasta kalau di negeri sudah tak lulus.

Aku iba juga pada Queena karena tak bisa memasukkannya ke sekolah swasta yang agak bagusan. Kondisi keuangan sedang tak memungkinkan. Masuk SD negeri aja yang biayanya sekitar 1,5 juta aku harus pontang panting. Untunglah keluarga besar paham.

Minggu lalu, ibuku mengirimkan uang 500 ribu, katanya buat nambah biaya masuk sekolah Queen. Trus mertuaku juga ngirim 2 stel baju seragam, dan akan ngirim uang juga. Makasih semuanya.... Inilah hakikat keluarga yang saling bantu dalam kesusahan.

Mudah-mudahan semua beres, Queena bisa sekolah mesti aku belum tau kapan harus antre dapetin formulir pendaftarannya... Semua masih belum jelas.

Yang penting sekarang, Queena sekolah aja dulu, dimana saja gak jadi masalah. Nanti kalau sudah ada uang baru dipindahkan ke sekolah yang favorit deh, Insya Allah...