Sunday, April 06, 2008

Harga-harga yang Mencekik Leher

Tadi pagi, istri mengeluh. Satu bungkusan kecil yang ia beli dari pedagang sayuran keliling harus ditebus dengan 25 ribu. Padahal biasanya hanya 10 ribuan. Bawang merah yang biasanya bisa beli seribu, sekarang paling sedikit harus membeli seharga 4 ribu. Ada apa di negara ini, sehingga harga-harga seperti tak terkendali?

Dulu saat kecil, aku sering diceritakan ibu tentang masa darurat. Katanya saat itu semua mahal dan langka. Baju pun harus pakai karung goni. Sembako antre, saat itu semua hanya di angan-angan, sepertinya tidak akan pernah terjadi lagi. Tapi kemudian, suasana itu justru menjadi hal biasa sekarang. Antre dimana-mana, bahkan sampai harus ada kartu kendali segala. Ironisnya, antrean itu buat membeli, bukan gratisan... Sudah harga mahal, antre pula. Kloplah sudah keterpurukan bangsa ini.

Bagi sebagian orang mungkin biasa. Tapi, bagi kami yang duitnya pas-pasan sangat memberatkan. Budget bulanan tak pernah sesuai perkiraan. Selalu harus ada hutang... Sebuah yang tak pernah aku alami sebelumnya. Mungkin juga karena sekarang aku hidup di Jakarta yang memang situasinya begitu, tapi seharusnya Jakarta lebih baik dibanding daerah. Karena daerah tentu mengalami yang lebih parah lagi.

Di kampungku PAsaman Barat sana, semua barang harganya lebih mahal karena semua harus dibawa dari Padang, saat harga Aqua galon di kota masih 8 ribu, orangtuaku di Silaping sana sudah harus membelinya 15 ribu. Lalu bagaimana sekarang setelah harga-harga di kota pada naik? Orang-orang di kampung tentu akan mendapatkan efek yang dahsyat.

Di Kompas beberapa hari lalu, ada artikel yang kalimatnya dimulai dengan pertanyaan APA KERJA Pemimpin bangsa ini? Mau ngurus lagu atau sembako? Mau nonton film Ayat-ayat CInta atau ngurus warga miskin.

Siapa yang harus disalahkan kalau ini semua ternyata fenomena global. Disini, tahapan Pemilu sudah mulai kemarin. Pemimpin kita tentu akan sibuk ngurus partai, bukan ngurus rakyat lagi. Minimal sampai pemilu tahun depan. Lalu rakyat mau apa? Apa hanya dimanfaatkan kalau mau kampanye saja?

Alamak, makin pusing kepala kalau memikirkan ini. Seharusnya kita menikmati hidup, bukan memikirkan karena sudah banyak pejabat yang digaji untuk memikirkannya. Tapi apa mereka memang mau memikirkannya? Lha, pembalakan kayu di Kalbar aja yang terlibat justru pejabat-pejabat. Lalu siapa yang bisa nangkap koruptor kalau semua ikut korupsi?

Udahlah, bagusan kita pindah negara aja yuk, tapi negara mana yang mau nampung warga Indonesia? He he he...

No comments: