Thursday, November 27, 2008

Cerita Pendek: Koin Satu Miliar

Koin Satu Miliar

Oleh Denny S. Batubara

Gila!

Dunia sudah benar-benar gila. Dari sebuah warung kopi di sudut kota, kubaca kegilaan itu. Dengan sebuah kolom iklan yang menghabiskan setengah halaman, terpampang tulisan mencolok, "Berani membeli koin seharga Rp 1 Miliar untuk koleksi pribadi", dan keterangan alamat serta nomor telepon di bawahnya. Apakah sebuah koin sudah begitu berharga?

Dari sudut warung itu dapat kulihat orang-orang berkerumun ingin mengetahui iklan 'gila' itu. Apakah sudah tak ada lagi koin di bumi ini? Dunia memang gila.

Hari ini aku kembali ke warung kopi itu. Tentu untuk membaca berita terbaru dari koran langganannya sambil menikmati segelas teh yang paling murah. Aku mesti sabar untuk tidak menghabiskan teh itu, supaya dapat membaca lebih lama. Soalnya bila segera habis, malu rasanya tetap bertahan di bangku panjang itu tanpa alasan, kecuali baca koran.

Aku rupanya keduluan. Orang-orang sudah terlebih dahulu membaca koran itu. Dari tempatku duduk, dapat kulihat hotline hari ini, "Persediaan Koin Habis". Lagi-lagi tentang koin. Koin sudah menjadi barang langka, koin sudah jadi barang berharga, sehingga ada yang berani membelinya seharga satu miliar.

Seiring dengan itu, harga-harga barang pun naik. Cara transaksi barang berubah dimana-mana. Harga mulai disesuaikan dengan bulatan uang kertas. Tak ada lagi, misalnya kopi seharga Rp 450, tapi dibulatkan menjadi Rp 500. Soalnya koin limapuluh sudah raib. Atau kalau ada barang yang seharga Rp 250, biasanya pembeli dipaksa membeli barang itu dua buah sekaligus. Ya itu, untuk menghindari urusan koin.

Tiba-tiba ada yang terlintas di pikiranku, yakni sesuatu yang menggerakkan aku untuk cepat-cepat meninggalkan warung kopi. Aku ingat, ada satu koin di laci meja belajarku. Ya, satu koin yang masih kuingat, satu koin yang akan kupakai buat menelepon seseorang malam nanti.

Dengan bergegas, aku pulang dan cepat-cepat mencari koin tersebut. Sebuah koin yang memang sudah ada disitu sejak aku punya meja belajar.



Aku mulai senang mengumpulkan koin sejak mulai kenal dengan seseorang, sehingga sewaktu-waktu dapat menghubunginya lewat telepon umum koin. Tak kusangka koin tersebut sekarang telah berharga satu miliar! Aku tergagap menghadapi kenyataan ini, apa yang aku perbuat dengan uang satu miliar itu nanti?

Tak sengaja kupandangi koin tersebut, koin biasa yang tak akan pernah menarik perhatian sebelumnya. Sekarang ia adalah koin satu-satunya di muka bumi ini, sebuah koin yang hanya dapat ditukar dengan satu pisang goreng, sekarang menjadi sebuah 'harta karun' yang dapat membeli apa saka.

Aku gemetar memikirkan kenyataan itu. Terbayang di benakku segala kesusahan yang ada selama ini. Terbayang di benakku segala ciri orang pinggiran yang tak dapat kusanggah pada tubuhku. Terbayang di benakku kebodohanku saat jamuan makan malam di tempat orang-orang besar, serta terbayang sakit flub yang selalu datang begitu aku ada di ruang ber-AC.


(bersambung)



In ENGLISH:


Coins One Billion

By Denny S. Batubara

Crazy!

The world is truly insane. From a coffee shop at the corner of the city, kubaca frenzy that. With a column of ads to spend half a page, the paper was light, "what to buy a coin worth Rp 1 billion for private collections," and address information and phone number below. Whether a coin is so valuable?

From the corner stall that can kulihat people congregate want to know the ads' mad 'it. Have no longer a coin on earth is this? The world is mad.

Today I return to the coffee shop. Of course, to read the latest news from newspaper customers while enjoying a glass of tea that are cheaper. I do not have to wait to spend the tea, so they can read older. Because when you run out soon, seemingly embarrassed survive in the long benches without reason, except read the newspaper.

I apparently be preceded. People have first read the newspaper. From place to sit, can kulihat hotline today, "Inventories Coins Out." More on a coin. Coins have become a rare item, a coin is so valuable, so there are purchased at the price of one billion.

Along with that, the prices of goods also increased. Changed the way transactions of goods everywhere. Prices start is adjusted periodically with the greenback. No longer, for example, a coffee worth Rp 450, but rounded up to Rp 500. Its coin is fifty raib. Or if the goods are worth Rp 250, the buyer usually forced to buy goods that are at once. Yes, the coin to avoid affairs.

Suddenly there is a later pikiranku, namely, something that moves me to hastily leave the coffee shop. I remember, there is a coin drawer in my desk study. Yes, one that still kuingat coin, a coin that will make to call someone nights later.

With haste, I go home and immediately find the coin. A coin that is already there since I have a desk study.

I am happy to start coin collecting since I started with someone, so that while menghubunginya-time can be common coin by phone. No kusangka coin is now worth one billion! I hum face this reality, what do I do with the money that one billion later?

Accidentally i see the coin, the coin of normal will never attract attention before. Now he is the only coin in the face of this earth, a token that can only be exchanged with a fried banana, now become a 'treasure trove' that can buy what everything.

I think the fact that tremble. In My mind, show at all for the ills of this. I show in all the characteristics of the edge that can not be denied on my body. And my blooper show in the reception dinner in place of those big, and most sick flub, which I always come in air-conditioned room.

(Translation of this story using Google Translate, sorry if there is one word)


(continued)

Monday, November 17, 2008

Surat yang tak Terbaca

Surat yang Tak Terbaca...


Baru-baru ini anakku mengirim surat buat seorang mantan tetangga kami di Medan, yang sudah dia anggap neneknya. Ibu itu begitu baik, hingga akhirnya kami seperti keluarga. Bahkan saat kami pindah rumah, kami masih saling mengunjungi satu sama lain. Dia sudah kami anggap orangtua kami di Medan. Waktu kami pindah ke Jakarta, kami kehilangan kontak. Telepon semua tidak aktif, hingga akhirnya anakku yang baru pandai menulis, mengirimkan surat beserta fotonya dan adiknya..... Seminggu kemudian, baru kami tahu, ternyata ibu itu sudah meninggal dunia sejak setahun lalu, akibat serangan kanker payudara.... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun....

Anaknya yang menelepon kami, mengatakan di akhir hayatnya Ibu itu masih sering menanyakan keadaan anakku, dan menanyakan mengapa kami tak pernah menelepon... Telepon dari anaknya itu sempat membuat kami terdiam, sedih sekali rasanya. Anakku pun hanya bertanya, "Nenek sudah meninggal, ya...." Anaknya mengatakan, mereka juga kaget dan sedih sekali membaca surat anakku, yang isinya menanyakan kabar Nenek, serta mengirimkan foto. Di surat itu kami cantumkan nomor telepon, dan nomor itulah yang kemudian dihubungi anaknya... Selama hampir 2 tahun kami kehilangan kontak, dan berakhir menyedihkan begini... Aku tersadar, bahwa kadangkala, ada hal-hal sepele yang kita lupakan dalam kehidupan kita...

Sehari sebelum kami pindah ke Jakarta, kami masih berkunjung ke Simalingkar, rumah Ibu Ati yang mantan tetangga kami itu. Dia punya 3 anak, 2 cewek dan 1 cowok yang saat itu (2005) kelas 5 SD. Saat itu kondisi Bu Ati memang sudah sakit, ada gejala kanker payudara. Dia hanya di rumah saja, bahkan pekerjaannya menjahit sudah ditinggalkan. Suaminya seorang kuli angkat di Pasar Pakaian Bekas Simalingkar. Waktu itu anaknya yang sulung sudah menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya.

Hubungan kami seperti layaknya keluarga. Anakku yang pertama, Queena, lahir saat kami masih tinggal di Simalingkar. Sehari-hari, bisa dibilang Bu Ati lah yang menjaga anak kami. Dia bahkan menganggap Queena sebagai cucunya sendiri. Sehingga sering terjadi kejadian lucu, kalau anakku memarahi anak bu Ati yang bungsu, "Ini nenekku...". Dan si anak itu pun menjawab,"Ini ibuku..."

Kami tinggal di Simalingkar, Jalan Karet XI sekitar 3 tahun. Saat ada rezeki, kami pindah ke daerah Marendal. Namun silaturahmi tetap terjaga. Bu Ati juga sering ke Marendal, sekadar ingin tahu kondisi Queena saja. Saat anak kedua kami, Baron, lahir, Bu Ati juga ikut menjaganya...

Kepindahan kami ke Jakarta membuat komunikasi terputus. Nomor telepon rumah mereka tidak aktif lagi karena menunggak. Nomor HP anak-anaknya juga tidak ada yang aktif.

Aku sempat meminta bebeapa teman di Medan untuk melihat keberadaannya, sekadar menyampaikan salam saja. Namun apa mau dikata, tak ada teman yang punya waktu luang.

Hingga akhirnya kami punya ide untuk mengirim surat saja. Anakku yang menulis, dengan harapan Bu Ati tentu akan senang sekali membaca tulisan cucunya. Ia tentu akan senang karna kami juga menyertakan foto Queena dan baron terbaru.

Dan ternyata, surat itu tak pernah dibaca Bu Ati... dia sudah meninggal dunia setahun sebelumnya... Surat anakku diterima anak kedua Bu Ati yang ternyata sudah menikah. Kebetulan saat itu ia ke rumah mereka karena akan melahirkan anak pertamanya. Suami Bu Ati masih bekerja, dan si Surya, anak bungsu Bu Ati juga sudah bekerja karna tidak melanjutkan sekolah.

Rasanya kebersamaan kami masih hangat dan seperti baru terjadi kemarin. Ternyata sudah banyak cerita yang berubah setelah kami meninggalkan Medan.

Penyakit Bu Ati ternyata semakin parah dan akhirnya meninggal dunia karena kanker payudara. Di akhir hayatnya, menurut anaknya, Bu Ati sering menyebut-nyebut nama anakku... Sekarang, untunglah kami menyimpan foto Bu Ati serta ada beberapa gambar video yang bisa kami beritahu ke anak kami agar mereka tidak lupa. Dan anak-anakku selalu bangga mengatakan, "AKU PUNYA TIGA NENEK LHO!..."

Pinang, Tangerang
17 11 08

Wednesday, November 12, 2008

Panggilan Kampung

Panggilan Kampung

Memasuki tahun ke-3 di Jakarta
Sepertinya ada yang salah dengan kami
Semuanya berlangsung cepat
Dan seperti sebuah ujian tanpa pengumuman

Tiba-tiba terbersit sebuah kata, PULANG!
Ya, mungkin pulang adalah jalan keluar
Agar ujian usai, dan kami bisa masuk jam istirahat
Tapi pulang kemana... Gamang rasanya pulang hanya membawa badan
Maka satu-satunya doa saat ini adalah:
"Andai saja ada tawaran pekerjaan di kampung...."

Seorang teman memberi saran
Pulang saja dulu, baru cari kerja
Tapi bagi kami itu penuh resiko
Yang hanya menambah ujian

Dalam beberapa perbincangan di rumah
Kami seperti memperoleh kesimpulan
Bahwa kami tak diterima Jakarta
Bukan karena Jakarta yang kejam,
namun mungkin kami yang belum siap

Tiga tahun di Jakarta dengan tiga kali pindah kontrakan
Tiga kali anak opname di rumahsakit
Anak operasi dengan penolakan pembayaran oleh asuransi
Sudah cukup membuat kami benar-benar tersadar
Bahwa hidup di Jakarta memang keras
Bahwa hidup di Jakarta hanya menguras isi kantong
Sampai ke dasar-dasarnya

Sesekali aku masih bergumam
Mungkin besok akan lebih baik
Namun yang datang tetap ujian matematika dan statistik
Sepertinya menyerah adalah jawaban
Agar pemberi soal tak lagi direpotkan

Hari ini aku masih mencoba mengais berbagai informasi
Apakah sudah ada tanda panggilan ke kampung
Namun jawabannya sama saja, samar dan gelap
Lalu, apakah kami juga tak diizinkan pulang?

Atau, atau....

(Pinang, 12 11 08)