Saturday, January 26, 2008

"Dua Indonesia"

"Dua Indonesia"

KOMPAS, Sabtu, 26 januari 2008 | 02:49 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Idealnya jangan ada yang putus asa. Sayangnya, banyak yang merasa hidup makin susah.

Dunia menghadapi ancaman resesi global dan melangitnya harga minyak dunia. Stok bahan pokok suka menghilang dan harganya sudah naik semua.

Kondisi politik mulai ”suam- suam kuku” karena persiapan 2009 yang akan diramaikan pesta kaus, bahan pokok, dan rupiah. Masih akan berlangsung lebih dari 100 pilkada yang bukan tak mungkin menimbulkan huru-hara.

Korupsi masih merajalela dan pemberantasannya tetap begitu-begitu saja. Penyidikan, pemberitaan, dan jalan ceritanya masih naik-turun seperti ingus di hidung anak balita Anda.

Jangan lupa, negeri yang suka memegang rekor dunia korupsi terbesar ini sebentar lagi menjadi tuan rumah konferensi antikorupsi internasional di Pulau Dewata. Ha-ha-ha....

Tak pelak lagi, saat ini yang menjadi lingua franca adalah si rupiah. Pejabat, tokoh, dan parpol sedang rajin-rajinnya mengumpulkan rupiah sebanyak-banyaknya.

DPR dan KPU meminta tambahan tunjangan yang mengada-ada. Bintang-bintang sinetron berwajah ganteng saja rela banting setir menjadi politisi supaya enggak jauh-jauh dari kuasa dan rupiah.

Nah, Anda yang berusia separuh abad pasti ingat zaman antrean minyak tanah di rumah ketua RT atau kantor lurah. Setelah 60 tahun kok antrean rakyat masih saja ada?

Di Bundaran HI (Hotel Indonesia) ada kampanye ”Visit Indonesia Year 2008” yang terpampang di billboard raksasa. Ada wajah-wajah Menbudpar Jero Wacik, Gubernur DKI Fauzi Bowo, dan juga presiden serta wapres kita.

Jika billboard itu terpasang di Times Square (New York), Piccadilly (London), atau Ginza (Tokyo) untuk menjaring turis, itu oke-oke saja. Tetapi, kebanyakan orang yang lewat Bundaran HI toh kita-kita juga.

Gambar gadis penari pendet, pantai Pulau Nias, atau ikan- ikan di Bunaken pasti lebih memesona. Lagi pula turis bule enggak nyandak slogan ”Celebrating 100 Years of Nation’s Awakening” alias Perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang amat bersejarah.

Malaysia, Singapura, dan Thailand dikunjungi rata-rata lebih dari 15 juta turis asing per tahunnya. Target Depbudpar tahun 2008 tak sampai 7 juta turis dari mancanegara.

Oh ya, semua sempat menjadikan berita sakitnya Pak Harto sebagai tontonan belaka. Inilah sirkus yang diembel-embeli pula dengan penampilan badut-badut yang kayak kurang kerjaan aja.

Lemhannas pada akhir 1970-an mau memvonis Bung Karno yang sedang sakit keras: ia pahlawan atau pengkhianat bangsa? Dan 60 tahun kemudian Pak Harto juga mengalami hal serupa.

Bung Karno terkenal dengan slogan ”Jas Merah”. Itu singkatan ”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Foto utama harian ini beberapa hari lalu menampilkan koboi sedang mencabut senjata dalam pertandingan sepak bola. Itulah cerminan dari kondisi bangsa ini yang bagai penderita gangguan jiwa.

Bayangkan saja, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid memimpin rapat dari balik penjara. Pemain- pemain asing pun meniru ulah pemain-pemain lokal yang suka bergaya seperti karateka.

Nah, dalam situasi tak menentu ini pemimpin mestinya tampil di depan kita. Namun, yang terjadi justru sebaliknya karena mereka ibarat ”ada namun tiada”.

Rakyat sih merasa enggak apa-apa karena toh sudah terlalu lama kecewa. Rakyat sudah sering bilang kepada pemimpin, ”Kita hidup sendiri-sendiri saja ya?”

Apa lacur, mau hidup berpisah pun sudah susah. Pemimpin tiap hari kerjanya hanya mengganggu hidup rakyat saja.

Saking gemasnya, rakyat bertanya, ”Gimana kalau kita tukar tempat saja?” Eh, ia malah buang muka.

Pemimpin memang manja. Sudah dapat gaji, rumah, mobil, patwal, bahkan ajudan yang membawakan tas ke mana-mana, tetapi masih mengeluh kurang tidur, enggak sempat ngopi, suka dizalimi, dan gampang bertelinga merah. Ih, kayak pemain sinetron saja!

Inilah bukti tentang kisah ”Dua Indonesia” yang berbeda. Ada Indonesia versi pemimpin yang hidup di awang-awang, ada versi rakyat yang terlalu nyata.

Rakyat butuh kedelai, bukan keledai yang masih saudaranya kuda. Rakyat ingin punya istana, pemimpin tak berhenti main kayak anak balita di Istana Mainan Hoya.

Rakyat rindu prestasi sepak bola untuk mengharumkan nama bangsa di mancanegara. Pemimpin rindu piknik ke mancanegara beli parfum untuk mengharumkan badan mereka.

Itulah kisah tentang ”Dua Indonesia”. Pemimpin telah menarik garis yang berseberangan dan nekat bertentangan dengan rakyatnya.

Padahal, dua adalah angka genap yang—tak seperti angka ganjil—enak dilihat, diucapkan, dan penuh berkah. Mana ada orang pacaran atau kawin bertiga?

Padahal, dua angka kodrati bagi kehidupan alam dan manusia. Lubang hidung, mata, telinga, tangan, dan kaki, jumlahnya pasti bukan lima.

Dan selalu ada kanan dan kiri, atas dan bawah. Manusia lahir dan mati, lalu masuk surga atau neraka.

Bendera kita dwiwarna, proklamator kita Soekarno-Hatta. Tak ada gunanya rakyat dan pemimpin terpisah kayak durian terbelah dua.

Rakyat ingin pemimpin yang mau menyingsingkan lengan bajunya. Rakyat butuh pemimpin yang berbicara apa adanya.

Waktu tinggal sedikit, terlalu banyak tabungan yang terbuang begitu saja. Jangan tunggu rakyat putus asa, lalu marah.

No comments: