Monday, November 17, 2008

Surat yang tak Terbaca

Surat yang Tak Terbaca...


Baru-baru ini anakku mengirim surat buat seorang mantan tetangga kami di Medan, yang sudah dia anggap neneknya. Ibu itu begitu baik, hingga akhirnya kami seperti keluarga. Bahkan saat kami pindah rumah, kami masih saling mengunjungi satu sama lain. Dia sudah kami anggap orangtua kami di Medan. Waktu kami pindah ke Jakarta, kami kehilangan kontak. Telepon semua tidak aktif, hingga akhirnya anakku yang baru pandai menulis, mengirimkan surat beserta fotonya dan adiknya..... Seminggu kemudian, baru kami tahu, ternyata ibu itu sudah meninggal dunia sejak setahun lalu, akibat serangan kanker payudara.... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun....

Anaknya yang menelepon kami, mengatakan di akhir hayatnya Ibu itu masih sering menanyakan keadaan anakku, dan menanyakan mengapa kami tak pernah menelepon... Telepon dari anaknya itu sempat membuat kami terdiam, sedih sekali rasanya. Anakku pun hanya bertanya, "Nenek sudah meninggal, ya...." Anaknya mengatakan, mereka juga kaget dan sedih sekali membaca surat anakku, yang isinya menanyakan kabar Nenek, serta mengirimkan foto. Di surat itu kami cantumkan nomor telepon, dan nomor itulah yang kemudian dihubungi anaknya... Selama hampir 2 tahun kami kehilangan kontak, dan berakhir menyedihkan begini... Aku tersadar, bahwa kadangkala, ada hal-hal sepele yang kita lupakan dalam kehidupan kita...

Sehari sebelum kami pindah ke Jakarta, kami masih berkunjung ke Simalingkar, rumah Ibu Ati yang mantan tetangga kami itu. Dia punya 3 anak, 2 cewek dan 1 cowok yang saat itu (2005) kelas 5 SD. Saat itu kondisi Bu Ati memang sudah sakit, ada gejala kanker payudara. Dia hanya di rumah saja, bahkan pekerjaannya menjahit sudah ditinggalkan. Suaminya seorang kuli angkat di Pasar Pakaian Bekas Simalingkar. Waktu itu anaknya yang sulung sudah menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya.

Hubungan kami seperti layaknya keluarga. Anakku yang pertama, Queena, lahir saat kami masih tinggal di Simalingkar. Sehari-hari, bisa dibilang Bu Ati lah yang menjaga anak kami. Dia bahkan menganggap Queena sebagai cucunya sendiri. Sehingga sering terjadi kejadian lucu, kalau anakku memarahi anak bu Ati yang bungsu, "Ini nenekku...". Dan si anak itu pun menjawab,"Ini ibuku..."

Kami tinggal di Simalingkar, Jalan Karet XI sekitar 3 tahun. Saat ada rezeki, kami pindah ke daerah Marendal. Namun silaturahmi tetap terjaga. Bu Ati juga sering ke Marendal, sekadar ingin tahu kondisi Queena saja. Saat anak kedua kami, Baron, lahir, Bu Ati juga ikut menjaganya...

Kepindahan kami ke Jakarta membuat komunikasi terputus. Nomor telepon rumah mereka tidak aktif lagi karena menunggak. Nomor HP anak-anaknya juga tidak ada yang aktif.

Aku sempat meminta bebeapa teman di Medan untuk melihat keberadaannya, sekadar menyampaikan salam saja. Namun apa mau dikata, tak ada teman yang punya waktu luang.

Hingga akhirnya kami punya ide untuk mengirim surat saja. Anakku yang menulis, dengan harapan Bu Ati tentu akan senang sekali membaca tulisan cucunya. Ia tentu akan senang karna kami juga menyertakan foto Queena dan baron terbaru.

Dan ternyata, surat itu tak pernah dibaca Bu Ati... dia sudah meninggal dunia setahun sebelumnya... Surat anakku diterima anak kedua Bu Ati yang ternyata sudah menikah. Kebetulan saat itu ia ke rumah mereka karena akan melahirkan anak pertamanya. Suami Bu Ati masih bekerja, dan si Surya, anak bungsu Bu Ati juga sudah bekerja karna tidak melanjutkan sekolah.

Rasanya kebersamaan kami masih hangat dan seperti baru terjadi kemarin. Ternyata sudah banyak cerita yang berubah setelah kami meninggalkan Medan.

Penyakit Bu Ati ternyata semakin parah dan akhirnya meninggal dunia karena kanker payudara. Di akhir hayatnya, menurut anaknya, Bu Ati sering menyebut-nyebut nama anakku... Sekarang, untunglah kami menyimpan foto Bu Ati serta ada beberapa gambar video yang bisa kami beritahu ke anak kami agar mereka tidak lupa. Dan anak-anakku selalu bangga mengatakan, "AKU PUNYA TIGA NENEK LHO!..."

Pinang, Tangerang
17 11 08

No comments: