Thursday, November 27, 2008

Cerita Pendek: Koin Satu Miliar

Koin Satu Miliar

Oleh Denny S. Batubara

Gila!

Dunia sudah benar-benar gila. Dari sebuah warung kopi di sudut kota, kubaca kegilaan itu. Dengan sebuah kolom iklan yang menghabiskan setengah halaman, terpampang tulisan mencolok, "Berani membeli koin seharga Rp 1 Miliar untuk koleksi pribadi", dan keterangan alamat serta nomor telepon di bawahnya. Apakah sebuah koin sudah begitu berharga?

Dari sudut warung itu dapat kulihat orang-orang berkerumun ingin mengetahui iklan 'gila' itu. Apakah sudah tak ada lagi koin di bumi ini? Dunia memang gila.

Hari ini aku kembali ke warung kopi itu. Tentu untuk membaca berita terbaru dari koran langganannya sambil menikmati segelas teh yang paling murah. Aku mesti sabar untuk tidak menghabiskan teh itu, supaya dapat membaca lebih lama. Soalnya bila segera habis, malu rasanya tetap bertahan di bangku panjang itu tanpa alasan, kecuali baca koran.

Aku rupanya keduluan. Orang-orang sudah terlebih dahulu membaca koran itu. Dari tempatku duduk, dapat kulihat hotline hari ini, "Persediaan Koin Habis". Lagi-lagi tentang koin. Koin sudah menjadi barang langka, koin sudah jadi barang berharga, sehingga ada yang berani membelinya seharga satu miliar.

Seiring dengan itu, harga-harga barang pun naik. Cara transaksi barang berubah dimana-mana. Harga mulai disesuaikan dengan bulatan uang kertas. Tak ada lagi, misalnya kopi seharga Rp 450, tapi dibulatkan menjadi Rp 500. Soalnya koin limapuluh sudah raib. Atau kalau ada barang yang seharga Rp 250, biasanya pembeli dipaksa membeli barang itu dua buah sekaligus. Ya itu, untuk menghindari urusan koin.

Tiba-tiba ada yang terlintas di pikiranku, yakni sesuatu yang menggerakkan aku untuk cepat-cepat meninggalkan warung kopi. Aku ingat, ada satu koin di laci meja belajarku. Ya, satu koin yang masih kuingat, satu koin yang akan kupakai buat menelepon seseorang malam nanti.

Dengan bergegas, aku pulang dan cepat-cepat mencari koin tersebut. Sebuah koin yang memang sudah ada disitu sejak aku punya meja belajar.



Aku mulai senang mengumpulkan koin sejak mulai kenal dengan seseorang, sehingga sewaktu-waktu dapat menghubunginya lewat telepon umum koin. Tak kusangka koin tersebut sekarang telah berharga satu miliar! Aku tergagap menghadapi kenyataan ini, apa yang aku perbuat dengan uang satu miliar itu nanti?

Tak sengaja kupandangi koin tersebut, koin biasa yang tak akan pernah menarik perhatian sebelumnya. Sekarang ia adalah koin satu-satunya di muka bumi ini, sebuah koin yang hanya dapat ditukar dengan satu pisang goreng, sekarang menjadi sebuah 'harta karun' yang dapat membeli apa saka.

Aku gemetar memikirkan kenyataan itu. Terbayang di benakku segala kesusahan yang ada selama ini. Terbayang di benakku segala ciri orang pinggiran yang tak dapat kusanggah pada tubuhku. Terbayang di benakku kebodohanku saat jamuan makan malam di tempat orang-orang besar, serta terbayang sakit flub yang selalu datang begitu aku ada di ruang ber-AC.


(bersambung)



In ENGLISH:


Coins One Billion

By Denny S. Batubara

Crazy!

The world is truly insane. From a coffee shop at the corner of the city, kubaca frenzy that. With a column of ads to spend half a page, the paper was light, "what to buy a coin worth Rp 1 billion for private collections," and address information and phone number below. Whether a coin is so valuable?

From the corner stall that can kulihat people congregate want to know the ads' mad 'it. Have no longer a coin on earth is this? The world is mad.

Today I return to the coffee shop. Of course, to read the latest news from newspaper customers while enjoying a glass of tea that are cheaper. I do not have to wait to spend the tea, so they can read older. Because when you run out soon, seemingly embarrassed survive in the long benches without reason, except read the newspaper.

I apparently be preceded. People have first read the newspaper. From place to sit, can kulihat hotline today, "Inventories Coins Out." More on a coin. Coins have become a rare item, a coin is so valuable, so there are purchased at the price of one billion.

Along with that, the prices of goods also increased. Changed the way transactions of goods everywhere. Prices start is adjusted periodically with the greenback. No longer, for example, a coffee worth Rp 450, but rounded up to Rp 500. Its coin is fifty raib. Or if the goods are worth Rp 250, the buyer usually forced to buy goods that are at once. Yes, the coin to avoid affairs.

Suddenly there is a later pikiranku, namely, something that moves me to hastily leave the coffee shop. I remember, there is a coin drawer in my desk study. Yes, one that still kuingat coin, a coin that will make to call someone nights later.

With haste, I go home and immediately find the coin. A coin that is already there since I have a desk study.

I am happy to start coin collecting since I started with someone, so that while menghubunginya-time can be common coin by phone. No kusangka coin is now worth one billion! I hum face this reality, what do I do with the money that one billion later?

Accidentally i see the coin, the coin of normal will never attract attention before. Now he is the only coin in the face of this earth, a token that can only be exchanged with a fried banana, now become a 'treasure trove' that can buy what everything.

I think the fact that tremble. In My mind, show at all for the ills of this. I show in all the characteristics of the edge that can not be denied on my body. And my blooper show in the reception dinner in place of those big, and most sick flub, which I always come in air-conditioned room.

(Translation of this story using Google Translate, sorry if there is one word)


(continued)

Monday, November 17, 2008

Surat yang tak Terbaca

Surat yang Tak Terbaca...


Baru-baru ini anakku mengirim surat buat seorang mantan tetangga kami di Medan, yang sudah dia anggap neneknya. Ibu itu begitu baik, hingga akhirnya kami seperti keluarga. Bahkan saat kami pindah rumah, kami masih saling mengunjungi satu sama lain. Dia sudah kami anggap orangtua kami di Medan. Waktu kami pindah ke Jakarta, kami kehilangan kontak. Telepon semua tidak aktif, hingga akhirnya anakku yang baru pandai menulis, mengirimkan surat beserta fotonya dan adiknya..... Seminggu kemudian, baru kami tahu, ternyata ibu itu sudah meninggal dunia sejak setahun lalu, akibat serangan kanker payudara.... Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun....

Anaknya yang menelepon kami, mengatakan di akhir hayatnya Ibu itu masih sering menanyakan keadaan anakku, dan menanyakan mengapa kami tak pernah menelepon... Telepon dari anaknya itu sempat membuat kami terdiam, sedih sekali rasanya. Anakku pun hanya bertanya, "Nenek sudah meninggal, ya...." Anaknya mengatakan, mereka juga kaget dan sedih sekali membaca surat anakku, yang isinya menanyakan kabar Nenek, serta mengirimkan foto. Di surat itu kami cantumkan nomor telepon, dan nomor itulah yang kemudian dihubungi anaknya... Selama hampir 2 tahun kami kehilangan kontak, dan berakhir menyedihkan begini... Aku tersadar, bahwa kadangkala, ada hal-hal sepele yang kita lupakan dalam kehidupan kita...

Sehari sebelum kami pindah ke Jakarta, kami masih berkunjung ke Simalingkar, rumah Ibu Ati yang mantan tetangga kami itu. Dia punya 3 anak, 2 cewek dan 1 cowok yang saat itu (2005) kelas 5 SD. Saat itu kondisi Bu Ati memang sudah sakit, ada gejala kanker payudara. Dia hanya di rumah saja, bahkan pekerjaannya menjahit sudah ditinggalkan. Suaminya seorang kuli angkat di Pasar Pakaian Bekas Simalingkar. Waktu itu anaknya yang sulung sudah menikah dan tinggal bersama keluarga suaminya.

Hubungan kami seperti layaknya keluarga. Anakku yang pertama, Queena, lahir saat kami masih tinggal di Simalingkar. Sehari-hari, bisa dibilang Bu Ati lah yang menjaga anak kami. Dia bahkan menganggap Queena sebagai cucunya sendiri. Sehingga sering terjadi kejadian lucu, kalau anakku memarahi anak bu Ati yang bungsu, "Ini nenekku...". Dan si anak itu pun menjawab,"Ini ibuku..."

Kami tinggal di Simalingkar, Jalan Karet XI sekitar 3 tahun. Saat ada rezeki, kami pindah ke daerah Marendal. Namun silaturahmi tetap terjaga. Bu Ati juga sering ke Marendal, sekadar ingin tahu kondisi Queena saja. Saat anak kedua kami, Baron, lahir, Bu Ati juga ikut menjaganya...

Kepindahan kami ke Jakarta membuat komunikasi terputus. Nomor telepon rumah mereka tidak aktif lagi karena menunggak. Nomor HP anak-anaknya juga tidak ada yang aktif.

Aku sempat meminta bebeapa teman di Medan untuk melihat keberadaannya, sekadar menyampaikan salam saja. Namun apa mau dikata, tak ada teman yang punya waktu luang.

Hingga akhirnya kami punya ide untuk mengirim surat saja. Anakku yang menulis, dengan harapan Bu Ati tentu akan senang sekali membaca tulisan cucunya. Ia tentu akan senang karna kami juga menyertakan foto Queena dan baron terbaru.

Dan ternyata, surat itu tak pernah dibaca Bu Ati... dia sudah meninggal dunia setahun sebelumnya... Surat anakku diterima anak kedua Bu Ati yang ternyata sudah menikah. Kebetulan saat itu ia ke rumah mereka karena akan melahirkan anak pertamanya. Suami Bu Ati masih bekerja, dan si Surya, anak bungsu Bu Ati juga sudah bekerja karna tidak melanjutkan sekolah.

Rasanya kebersamaan kami masih hangat dan seperti baru terjadi kemarin. Ternyata sudah banyak cerita yang berubah setelah kami meninggalkan Medan.

Penyakit Bu Ati ternyata semakin parah dan akhirnya meninggal dunia karena kanker payudara. Di akhir hayatnya, menurut anaknya, Bu Ati sering menyebut-nyebut nama anakku... Sekarang, untunglah kami menyimpan foto Bu Ati serta ada beberapa gambar video yang bisa kami beritahu ke anak kami agar mereka tidak lupa. Dan anak-anakku selalu bangga mengatakan, "AKU PUNYA TIGA NENEK LHO!..."

Pinang, Tangerang
17 11 08

Wednesday, November 12, 2008

Panggilan Kampung

Panggilan Kampung

Memasuki tahun ke-3 di Jakarta
Sepertinya ada yang salah dengan kami
Semuanya berlangsung cepat
Dan seperti sebuah ujian tanpa pengumuman

Tiba-tiba terbersit sebuah kata, PULANG!
Ya, mungkin pulang adalah jalan keluar
Agar ujian usai, dan kami bisa masuk jam istirahat
Tapi pulang kemana... Gamang rasanya pulang hanya membawa badan
Maka satu-satunya doa saat ini adalah:
"Andai saja ada tawaran pekerjaan di kampung...."

Seorang teman memberi saran
Pulang saja dulu, baru cari kerja
Tapi bagi kami itu penuh resiko
Yang hanya menambah ujian

Dalam beberapa perbincangan di rumah
Kami seperti memperoleh kesimpulan
Bahwa kami tak diterima Jakarta
Bukan karena Jakarta yang kejam,
namun mungkin kami yang belum siap

Tiga tahun di Jakarta dengan tiga kali pindah kontrakan
Tiga kali anak opname di rumahsakit
Anak operasi dengan penolakan pembayaran oleh asuransi
Sudah cukup membuat kami benar-benar tersadar
Bahwa hidup di Jakarta memang keras
Bahwa hidup di Jakarta hanya menguras isi kantong
Sampai ke dasar-dasarnya

Sesekali aku masih bergumam
Mungkin besok akan lebih baik
Namun yang datang tetap ujian matematika dan statistik
Sepertinya menyerah adalah jawaban
Agar pemberi soal tak lagi direpotkan

Hari ini aku masih mencoba mengais berbagai informasi
Apakah sudah ada tanda panggilan ke kampung
Namun jawabannya sama saja, samar dan gelap
Lalu, apakah kami juga tak diizinkan pulang?

Atau, atau....

(Pinang, 12 11 08)

Sunday, August 17, 2008

Emas Olimpiade Kado HUT RI

Bangga sekali rasanya menyaksikan kemenangan ganda purtra Indonesia saat merebut medali emas Olimpiade. Sebuah pertandingan yang sangat seru sekali. apalagi lawan yang mereka hadapi adalah Fu haifgeng yang terkenal sebagai pemegang rekor smesh tercepat. Hendra dan Kido juga mengawali langkah dengan menyingkirkan ganda Malaysia yang selama ini tidak pernah mereka kalahkan. Luar Biasa!

Hanya satu yang bisa kita sampaikan, Terimakasih, Kido Hendra! Kami bangga karenamu...

Hari ini negara kita marayakan kemerdekaan ke-63, namun apakah kita merasa benar-benar Merdeka? untuk yang satu ini, jawabannya belum! Wong untuk masuk SD saja tetangga saya banyak yang anaknya gak bisa masuk sekolah karena banyak syarat dan bayaran...

Mudah2an suatu saat nanti, kita dapat menyaksikan Indonesia yang benar-benar Merdeka, bukan yang setengah merdeka....

Selamat juga buat SBY yang hari ini menimang cucu pertamanya....

17 Agustus memang membawa berkah buat semua...

Tuesday, June 10, 2008

Indonesia adalah Negara Asia Pertama di Piala Dunia?

Diakui atau tidak, Indonesia adalah negara Asia pertama yang berlaga di ajang Piala Dunia, tepatnya Piala Dunia 1938 di Prancis.

Meski saat itu belum merdeka, Indonesia mengusung nama Nederlandsche Indiesche atau Netherland East Indies atau Hindia Belanda.

Panasnya keadaan di Eropa dan sulitnya transportasi ke Prancis secara tak langsung memberikan keuntungan. Jepang menolak hadir dan memberikan kesempatan bagi Hindia Belanda untuk tampil mewakili zona Asia di kualifikasi grup 12. Lalu Amerika Serikat yang jadi lawan berikutnya menyerah tanpa bertanding.

Jadilah anak-anak Melayu ini melenggang ke Prancis.
Pengiriman kesebelasan Hindia Belanda bukannya tanpa hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI yang telah berdiri April 1930. PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa, ingin pemain mereka yang dikirimkan.

Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA.

Ditangani pelatih Johannes Mastenbroek, pemain kesebelasan Hindia Belanda adalah mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda.

Tercatat nama Bing Mo Heng (kiper), Herman Zommers, Franz Meeng, Isaac Pattiwael, Frans Pede Hukom, Hans Taihattu, Pan Hong Tjien, Jack Sammuels, Suwarte Soedermandji, Anwar Sutan, dan kiri luar Nawir yang juga bertindak sebagai kapten.

Pada babak penyisihan, Hindia Belanda langsung menghadapi tim tangguh, Hungaria, yang kemudian meraih posisi runner-up.

Tak banyak informasi yang didapatkan mengenai pertandingan di Stadion Velodrome Municipale, Reims, 5 Juni 1938, tersebut. Pada pertandingan yang disaksikan 9.000 penonton itu, Hindia Belanda tak mampu berbuat banyak dan terpaksa pulang lebih cepat setelah digilas 6-0.

Meski belum menggunakan bendera Merah-Putih, inilah satu-satunya penampilan tim Melayu di Piala Dunia, hingga sekarang! (Koran Tempo, 11 Mei 2006)

Belanda Hancurkan Juara Dunia Italia 3-0

Tuh kan? Belanda membuktikan diri lebih jago dibanding Juara Dunia Italia....Skornya 3-0 pulak... Kita tunggu Belanda di final ya?

Monday, June 09, 2008

Saatnya Menilai Televisi dengan "Rating" Kualitas

Saatnya Menilai Televisi dengan "Rating" Kualitas
KOMPAS, Minggu, 8 Juni 2008 | 00:46 WIB

DAHONO FITRIANTO & SUSI IVVATY

Prihatin terhadap sistem ”rating” kuantitatif sebagai patokan menilai program televisi, beberapa organisasi independen membuat metode survei lain, yakni menilai kualitas acara televisi. Hasil survei menunjukkan, program yang paling banyak ditonton bukanlah yang bermutu terbaik.

Survei bertitel Rating Publik ”Menuju Televisi yang Ramah Keluarga” ini dilakukan Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) didukung Yayasan TIFA, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), The Habibie Center, dan London School of Public Relations.

Koordinator survei Agus Sudibyo menegaskan, meski sama- sama menggunakan kata rating, metode ini bukan dimaksudkan untuk menandingi sistem yang diselenggarakan lembaga riset AGB Nielsen (yang menjadi patokan stasiun TV selama ini). ”Metodenya jauh berbeda,” ungkap Agus.

Survei rating publik ini dilakukan dengan menyebar kuesioner dan rekaman kepada 220 responden, masing-masing 20 responden di 11 kota, yakni Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang. Responden dipilih menggunakan metode sampel kuota dan dari kalangan pemerhati televisi di setiap kota.

”Respondennya harus orang- orang yang paham dan bisa menilai secara kritis program acara televisi. Jadi, tidak bisa dipilih secara acak dari para kalangan masyarakat umum. Riset ini tidak berpretensi menggambarkan penilaian seluruh penonton televisi,” papar Agus.

Untuk mencari responden yang sesuai dengan kriteria itu, mereka bekerja sama dengan lembaga independen pemerhati televisi di setiap kota, yakni Yayasan Kippas (Medan), LKi&KP (Batam), LPS-AIR (Pontianak), LKM (Surabaya), Silabika dan Pustaka Melayu (Palembang), YPMA KIDIA (Jakarta), LeSPI (Semarang), Jurusan Jurnalistik Fikom Unpad (Bandung), Pusat Studi Audience Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD ”APMD” (Yogyakarta), Elsim (Makassar), dan IJTI Provinsi Bali (Denpasar).

Selain harus menjawab kuesioner, setiap responden juga harus menonton rekaman 15 acara TV, masing-masing lima acara untuk tiga kategori utama acara TV, yakni hiburan, bincang-bincang (talkshow), dan berita reguler. ”Kami kirimi setiap responden rekaman itu agar mereka bisa benar-benar menelaah isinya. Lima acara yang dipilih adalah acara yang memiliki rating tertinggi berdasar riset AGB Nielsen,” kata Agus.

Setelah mengolah data dari 191 responden yang mengembalikan kuesioner, terlihat bahwa mayoritas responden (41,9 persen) menilai program televisi di Indonesia secara umum masuk dalam kategori biasa-biasa saja. Hanya 27,2 persen yang berpendapat acara TV sudah baik, sementara 24,6 persen malah memandang isi TV kita masuk dalam kategori buruk.

Riset ini menerapkan enam kriteria penilaian kualitatif sebuah acara TV bisa dikatakan bermutu tinggi, yakni bisa menambah pengetahuan, bersifat pengawasan atau memberi peringatan, membangkitkan empati sosial, meningkatkan daya kritis, memberi model perilaku yang baik, dan menghibur.

”Kick Andy” terbaik

Berdasarkan jawaban dari responden, program Kick Andy yang dipandu host Andy Noya dinilai sebagai program terbaik dari semua program yang ada di televisi. Sebanyak 47,1 persen responden memilih program tersebut. Bandingkan dengan program ber-rating tertinggi versi AGB Nielsen, yakni sinetron Azizah.

Kick Andy juga dinilai sebagai program talkshow terbaik versi riset ini, sedangkan menurut AGB Nielsen, program Empat Mata adalah yang ber-rating tinggi. Namun, bukan berarti Empat Mata juga tidak disukai. Sebab, riset ini menunjukkan bahwa Empat Mata menempati urutan kelima setelah Kick Andy, Today’s Dialogue, Oprah Winfrey, dan Dorce Show.

Andy Noya mendukung riset mengenai rating publik ini karena memberi alternatif lain soal rating. Selama ini, AGB Nielsen menjadi semacam ”Tuhan”-nya untuk televisi dan periklanan sehingga seolah-olah menjadi satu-satunya kebenaran.

Kekuatan Kick Andy, menurut Andy, adalah pada tema dan content atau isi. Presenter hanyalah unsur kecil yang justru menjadi kelemahan. Itu karena Andy merasa tidak menarik di depan kamera, tidak ganteng, bergaya kaku, dan berambut kribo pula. ”Jadi saya tertolong oleh tim yang solid. Kick Andy ini kental dengan unsur jurnalisme. Kami mengandalkan jaringan yang dimiliki Metro TV, yakni reporter yang tersebar di banyak daerah. Merekalah yang banyak memberi informasi,” paparnya.

Kekuatan lain Kick Andy adalah, program ini mengasah kepekaan sosial dan selalu menyampaikan pesan moral. Misalnya soal tema kelamin ganda, kaki palsu, atau guruku pemulung. Topik yang diangkat berimbas sangat luas. Soal kaki palsu, misalnya, ternyata banyak sekali orang yang membutuhkan. Karena itu, muncullah gagasan untuk membuat kegiatan ”1.000 Kaki Gratis Kick Andy” dan sudah terkumpul dana Rp 1 miliar dari sponsor.

”Kelemahan Kick Andy selain pada host-nya juga unsur hiburannya. Kick Andy juga tidak interaktif, tidak bisa berdialog dengan penonton di rumah karena direkam,” terang Andy.

Ada beberapa program yang dinilai bagus oleh responden survei ini, dan juga di rating tinggi oleh AGB Nielsen. Namun, ada pula yang sangat jauh panggang dari api. Bagaimanapun, patokan ini patut menjadi alternatif.

Saturday, June 07, 2008

Euro, Jerman vs Belanda di Final

Final Euro, Jerman vs Belanda…

Euro sudah di depan mata, siapa yang juara? Apakah kembali menghasilkan kejutan seperti saat Yunani mencengangkan publik dunia?

Tahun ini banyak yang menjagokan Portugal, Jerman dan Italia. Kalau aku sendiri pilih Belanda. Finalnya akan menghadirkan Jerman lawan Belanda. Dan Belanda yang juara.

Portugal? Christiano Ronaldo terlalu sombong dan terlalu banyak masalahnya. Di MU bisalah dia segalanya, namun di timnas Portugal belum tentu kehebatannya keluar. Di MU dia punya kompatriot yang jagoan, di Timnas belum tentu padu dengan rekan-rekannya. Jadi, Portugal jangan berharap banyak lah dulu. Apalagi Ronaldo juga sangat sering seolah sombong dengan kehebatannya. Masih ingat kan waktu dia ke Aceh?

Italia, Juara Dunia ini turun dengan keyakinan penuh. Sayangnya terganjal kasus cideranya sang kapten Fabio Cannavaro. Dan setengah nafas Italia pun terbang. Antonio Cassano semula ingin mengulang sejarah pemain Italia yang mengkilap sebagai pemain yang semula tidak diharapkan, seperti Paulo Rossi dan beberapa lainnya. Tapi, kayaknya Cassano belum sehebat itu lah. Saingan Italia di Grup, Belanda dan Perancis bahkan bisa membuat juara dunia ini harus pulang lebih dulu.

Perancis, sepeninggal Zinedine Zidane, Perancis kehilangan roh. Frank Ribery yang muslim, semula diharapkan menjadi penerus tongkat estafet. Namun sampai saat ini, Ribery belum menunjukkan kelasnya yang sesungguhnya. Jika Ribery dalam kondisi fit, didukung Benzema dan Samir Nasri, bukan tak mungkin Perancis kembali terbang tinggi. Mereka juga mesti hati-hati agar tidak tergelincir oleh kuda hitam Rumania di pemanasan grup.

Jerman. Tim yang paling banyak dijagokan masuk final adalah Jerman. Wajar saja, tim diesel ini dikenal panasnya lambat dan jago turnamen. Kekuatannya merata, apalagi jika Ballack dalam kondisi on fire, habislah sudah lawan mana saja. Sayangnya, Jerman terlalu mengandalkan Lehhman di bawah mistar. Lehman sendiri jarang turun di kompetisi antarklub dan menjadi cadangan di Arsenal setelah Almunia menunjukkan taringnya. Para striker Jerman juga nampaknya tidak setajam dulu lagi. Miroslav Klose sudah terlalu lamban dan sudah dimengerti cara mainnya.

Tim semenjana yang patut diwaspadai sebenarnya adalah Kroasia, Polandia dan Ceko. Sayangnya Kroasia mesti kehilangan Eduardo da Silva yang cidera di Arsenal. Pemain-pemain asuhan Bilic ini tentu ingin menunjukkan dan memberikan kado terbaik bagi da Silva. Apalagi mereka sudah lama tidak melihat prestasi pasca era Boban, Suker dan kawan-kawan. Hal yang sama juga pada Ceko. Cideranya Rosicky membuat tim ini kekurangan amunisi. Untung ada Petr Chech di bawah mistar yang memberi setengah kekuatan tim. Darah muda dan lokomotif tak kenal lelah ala Cekko akan membuat lawan mereka kalang kabut.

Bagaimana dengan juara bertahan Yunani? Peluang mereka lolos dari penyisihan grup masih terbuka. Komposisi yang merata tanpa pemain bintang membuat tim ini hebat dan solid. Sebuah keharusan yang dimiliki tim, yakni kebersamaan ada pada mereka. Modal itu sangat berharga dan bisa memberi kejutan lagi pada tim lawan. Sesuatu hal yang juga dialami Polandia, negeri yang untuk pertama kalinya lolos ke final Euro walau di Piala Dunia sudah sering lolos. Polandia lolos dengan prestasi juara grup mengungguli Belanda, jika mereka konsisten seperti penampilan di penyisihan, bukan tak mungkin Polandia akan memberi warna baru.

Rusia, sejak ditangani pelatih bertangan dingin, tim ini tambah hebat. Menangnya Zenit di Piala UEFA tentu menambah mental anak-anak Rusia. Apalagi mereka lolos dengan sangat dramatis setelah sebelumnya dinyatakan 99 persen akan gagal jika Inggris bisa seri atau menang pada pertandingan terakhir lawan Kroasia. Sayangnya pada menit akhir pertandingan, Kroasia menambah gol ke gawang Inggris dan membuat negeri bola itu harus gigit jari. Rusia yang sebelumnya sudah pasrah menerima mukjizat dan lolos. Mereka tentu tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekali datang harus menang sekalian. Gaya permainan anak-anak Rusia sekarang dinamis sekali. Tapi untuk menang juara Euro, nanti dulu…. Buat Swiss, Austria, Turki dan tim lain, jangan anggap remeh juga. Peristiwa seperti kisah dinamit Denmark yang membuat sejarah sebagai juara dari tim yang tidak diperhitungkan bisa terulang….

Lalu siapa yang juara? Belanda ajalah… Karena sudah lama nih gak melihat Belanda sehebat sekarang sejak zamannya Gullit. Kalau Belanda yang menang, van Basten akan mencetak sejarah baru sebagai pemain dan pelatih yang sukses juara Euro. Kalau Belanda yang juara, kita yang di Indonesia bisa dong sedikit bangga dan sombong dengan mengatakan ada darah-darah Indonesia di timnas Belanda. Giovanni van Broncost dan Johny Heitinga adalah anak-anak perantau asal Indonesia yang merantau (lari atau dibuang) ke Belanda.

Selamat menonton ya….

Wednesday, May 28, 2008

Berbagi Cerita di Ciputat...

Cuti yang kuambil selama 2 minggu berlalu sudah. Tak ada kemana-mana, hanya di rumah saja. Ditambah sakit demam yang membuat kami berempat sama-sama berobat ke rumahsakit. Perawat di RS Sari Asih Ciledug sampai komentar, "sakitnya kompak ya, Pak".

Mengisi waktu, kami main ke Ciputat. Rumah Uci atau Tante yang masih sekampung. Karena sebaya, aku panggil Kakak saja dia. Di kampung kami gak terlalu kenal, karena yang sebaya denganku adalah adiknya yang bungsu. Dia sendiri sudah merantau sejak aku masih SD di kampung. Tapi satu kampung dan senasib di rantau menjadikan kami sangat dekat.

Pas hari pertama kenaikan BBM, kami parkirkan motor di Plaza CIledug (ini dipilih karena parkirnya masih Rp 1000 tanpa limit, lebih murah dibanding parkir di Carrefour CBD Ciledug yang parkirnya pakai hitungan jam). Lalu lanjutkan naik angkot ke Lebak Bulus. Sopir rupanya sudah naikkan tarif tanpa ba-bi-bu, dari 5 ribu jadi 6 ribu. Tinggallah penumpang yang mengumpat dalam hati.

Dari Lebak Bulus, ganti angkot ke Pasar Ciputat dan disambung lagi yang ke arah Parung. Rumah Kak Ami ini ada di sekitar kelurahan Cipayung, di pinggir jalan besar. Anaknya dua, Hafiz dan Wada. Seumuran pula dengan anakku, jadi klop lah sudah. Anak-anak puas-puasin main, kami pun puas-puasin ngobrol sana sini.

Dulunya mereka mengelola bengkel yang cukup besar disana, dan mereka diberi izin tinggal di bengkel itu. Sejak banyaknya bengkel yang pakai sistim komputer, bengkel mereka bangkrut. Untunglah pemilik bengkel masih mengizinkan mereka tinggal disana. Sudah sejak beberapa bulan lalu Kak Ami ini pengen pulang kampung aja. Karena sudah gak betah di Jakarta. Suaminya yang mekanik, banting stir belajar Sipil dan mulai usaha pembangunan menara GSM di daerah Bandung. Saat kami ke rumahnya, suami Kak Amis kebetulan sedang pulang dan ada di rumah, itu baru kali pertama kami bertemu karena biasanya ia ada di luar kota.

Kak Ami ini sebulan lalu pernah nekat ke rumahnya Aburizal Bakrie. Memang Ical itu masih ada hubungan saudara jauh dengannya, dengan kami juga tentunya. Neneknya Ical itu berasal dari sebuah desa Kampung Pakantan yang sekarang sudah tinggal hutan.

Almarhum ayah Kak Ami ini pernah berpesan agar dia sesekali datang ke rumahnya Ical dan menjalin silaturahmi. Karena sedang HABIS PIKIR, dia pun nekat datang kesana. Hampir seminggu berturut-turut dia menguntit Ical, dari Kantor hingga rumah. Namun yang didapat hanya kekecewaan. Dari awal aku udah beri gambaran bagaimana susahnya dan tak akan ada tanggapan. Namun Kak Ami yang tamatan D3 AMIK PAdang ini nekat juga, dia berharap Ical akan memberi sedikit peluang kerja padanya, minimal di perkebunan sawit Bakrie yang ada 2 di Pasaman Barat.

Ajudan dan Satpam ICal tak pernah memberi izin, hingga Kak Amis pulang dengan satu keyakinan baru bahwa ternyata benar orang kaya tak bisa berfamili... Sejak saat itu dia menghapus keinginannya kerja di kantoran dan pulang kampung. Dia pun banting stir buka warung makanan sederhana di bekas bengkelnya. Dia jual Gado-gado dan nasi Padang. Posisinya di bekas bengkel yang dekat dari kolam renang Mbok Berek Ciputat.

Kak Ami punya dua anak, Hafoz dan Wada. Uniknya si Hafiz ini gak mau lagi dipanggil Hafiz. Sekarang ia minta ganti nama jadi IQBAL aja. Alasannya ada tetangga mereka yang namanya Hafiz juga tapi anaknya nakal sekali. Jadi ia gak mau dianggap nakal kayak si Hafiz tetangga mereka itu.

Bercerita memang mengasyikkan. Sampai tak terasa hari sudah sore, dan kami bersiap untuk pulang ke Ciledug. Anak-anak yang sedari pagi main-main di halaman yang bekas bengkel, awalnya gak mau pulang. Baron sampai nangis-nangis gak mau pulang.

nb: berhubung komputernya gak bisa upload foto di blog ini, maka fotonya bisa dilihat di album foto ya...

Wednesday, May 21, 2008

Ketika yang Menolong Hanya Selembar Kartu Sakti











Hari baru pukul 10 saat aku bergegas naik ke lantai dua Plaza Cileduk. Hari itu aku harus ada uang untuk keperluan mendesak. Ya, sudah beberapa kali Bang Ryan ini yang menyelamatkan kami. Sayang sekali, kali ini aku harus kecewa, toko Bang Ryan yang tersembunyi di sudut plaza yang sesak.

Sejak ke Jakarta, Bang Ryan cukup sering membantu keuangan kami kala mendesak. Bang Ryan bukan family, ia hanya seorang pedagang yang menerima tarik tunai kartu kredit. Aku pun tau dari iklan keciknya di koran. Tarik tunai di tempat dia ini seolah kita membeli barang elektronik, namun kita diberi cash. Ia dapat untung dari biaya sekitar 4 persen. Biasanya ia akan nanya mau bersih apa kotor?

Kalau bersih artinya kalau kita minjam 1 juta, maka kita terima satu juta bersih namun di kwitansi tertulis rp 1.035.000, yang 35 ribu buat dia. Kalau kita mau terima kotor, berarti di kwitansi tertulis pas rp 1 juta namun kita nerimanya rp 965.000 atau 1 juta kurang bagian dia.

Pada kawan-kawan sering aku bilang, bahwa kalau hidup di Jakarta ada dua syarat utama, Pertama, HARUS KAYA dan kedua HARUS SABAR.

Kaya, karena semua serba mahal dan butuh biaya. Sejak pindah ke Jakarta aku harus mengeluarkan banyak biaya yang sebelumnya gak pernah ada budgetnya. Sewa rumahlah dan sebagainya.

Sabar, karena kita mesti berhadapan dengan macet, banjir, lalu lintas yang amburadul dan kelauan orang yang bermacam-macam. Aku sendiri kayaknya udah bisa sedikit sabar, sayangnya belum KAYA-KAYA.

Alhasil, setiap bulan selalu MANTAB alias MAKAN TABUNGAN. Parahnya, sudah makan tabungan, minus pula dan mesti ada subsidi baru. Dan jalan terakhir adalah TARIK TUNAI dari KARTU KREDIT yang akan dilunasi secepat mungkin pas gajian.

Dan hiduppun macam lagu Bang Rhoma Irama, Gali Lobang Tutup Lobang....

Aku sudah punya kartu kredit sejak 5 taun lalu. Dulu memang gunanya tak sering ada. Hanya buat kondisi mendesak aja. Namun dulu tetap ada ada godaan buat beli barang. Misalnya elektronik dan HP. Alhasil, bayarnya susah.... Akibatnya pernah aku hanya sanggup bayar bunga saja sementara hutangnya gak berkurang sama sekali.... Untung aku cepat sadar dan tutup semua hutang, kalaun tidak, entah bagaimana leher terjerat kartu BIADAB itu...

Sejak ke Jakarta, tiba-tiba hubungan kami dengan Kartu Kredit itu makin mesra aja. Maklum keperluan uang makin banyak sementara teman bagi masalah atau teman pinjam duit gak ada... Saudara juga jauh semua. Alhasil, kartu Citibank dan BNI yang aku punya pun menjadi Saudara Terkandung....

Suatu malam, anak kami Baron sakit. Muntah dan mencret.... Seharian gak sembuh... Obat tak mempan... Daun jambu yang direbus sudah diminumkan berkali-kali... Mencretnya makin parah, air besarnya malah sudah air semua... Sementara uang gak ada... Sementara kartu askes yang kami punya hanya bisa digunakan dengan pakai uang sendiri dulu...

Akhirnya kami nekat membawanya ke rumahsakit. Benar saja, di UGD ia muntah ke baju dokternya. Kontan saja sang dokter langsung perintahkan opname. Saat mendaftar di loket, aku pun diwajibkan menyetor deposit satu juta lebih... Pusing, mau nyari uang kemana?

Untung mereka cepat memberitahu bahwa bisa pakai kartu kredit... Maka dengan gagahnya, sang kartu membantu kami saat itu. Sejak saat itu, kami sering berkelakar bahwa satu-satunya family di kota besar ini hanya MBak Siti.... Maksudnya Citibank...

Kejadian berlanjut, Baron kembali sakit diare. Semua gara-gara air yang kotor... Kami merasa tertipu pemilik rumah. Kami tawarkan perdalam sumur bor dengan biaya setengah-setengah dia tetap gak gubris. Apa boleh buat, kami harus pindah meski kontrak rumah masih sisa 7 bulan... Sekali lagi, Mbak Siti (Citibank) menjadi dewa penyelamat, pada saat yang pas, aku ditawari Personal Loan sebagai fasilitas pengguna kartu kredit Citibank... dan akhirnya kami bisa pindah dan hidup sedikit lebih sehat...

Persoalan ternyata belum selesai... Beberapa kali kami mesti pontang panting mengatur keuangan....Hingga akhirnya tak ada jalan keluar selain minjam... Dan jalan satu-satunya hanya TARIK TUNAI lewat merchant, bukan lewat ATM. Sebab, kalau tarik tunai lewat ATM bunganya besar sekali. Sementara kalau tarik tunai dari toko bunganya sesuai dengan bunga belanja.

Seperti Bang Ryan, dia buka tokonya adalah toko elektronik merk tertentu, sekarang di tokonya juga jual handphone. Namun jualan sebenarnya adalah Alat atau mesin pembayaran kartu kredit itu... Dulu pas aku pertama kesana, Bang Ryan nampaknya juga baru bisnis itu, sebab ia saat itu juga masih kaku dan sempat salah ngetik jumlah uang segala.

Kembali ke cerita tadi, setelah siangnya melihat toko Bang Ryan tutup, sorenya aku beranikan lagi datang kesana. Bak menemukan harta karun, aku senang sekali melihat toko kecil itu buka. Melihat aku, Bang Ryan udah langsung paham. Ia pun langsung basa-basi bahwa memang baru buka karena harus membawa anak-anaknya rekreasi karena hari libur sekolah...

Transaksi pun lancar, Segepok uang berpindah ke dalam dompetku... Mudah-mudahan segera ada ganti buat membayarnya, karena akan susah kalau tak dibayar segera...

Sebenarnya toko seperti Bang Ryan ini banyak sekali. Sebelum dengan bang Ryan, aku juga pernah tarik tunai di toko travel dan toko emas. Biasanya mereka memang liat-liat dulu orangnya. Malah awalnya, aku mesti ditemani teman yang dari Bank, baru mereka mau melayani.

Di Medan, di toko emas yang ada tarik tunainya, aku diberi kartu agar setiap tarik tinggal memperlihatkan kartu itu saja sebagai identitas agar mereka segera tahu kalau kita udah pernah kesitu...

Berutang memang bukan pilihan, namun pada saat-saat tertentu berutang menjadi keharusan....

Kalau bisa memilih, aku ingin rasanya menggunting dua kartu kredit yang ada di dompet. Namun mengingat kondisi, rasanya masih butuh pertolongan mereka suatu saat nanti...

Beruntunglah orang-orang yang berkecukupan sehingga tak harus pusing pikir macam-macam soal keuangan rumahtangga.

Banyak orang yang takut pakai kartu kredit. Dan memang jangan sembarangan pegang kartu kredit, walau sakti dan berjasa pada kondisi darurat, kalau tak mampu menahan selera, kita bisa dijeratnya... Namun kalau mampu mengendalikan, kartu itu memang menjadi kartu sakti yang berjasa sekali.

Tipsnya sedikit saja, jangan pakai buat konsumsi, jangan pakai buat keperluan yang tidak mendesak. kalau pun harus tarik tunai, tarilah dari toko, jangan sesekali tarik tunai dari ATM. Dan terakhir, menabunglah agar di akhir bulan masih ada yang akan dikuras....

Monday, May 19, 2008

Susahnya Mikirin Sekolah...

Tahun ini anakku Queena sudah masuk SD. Kami sudah siap-siap nyari sekolah. Namun ya Ampunnn, biayanya besar sekali...

Beberapa teman TK-nya sudah mendaftar di sekolah swasta. Biayanya antara 2,5 hingga 10 juta. Sebuah hal yang sedang tak sanggup kami lakukan saat ini. Makanya yang terpikir adalah masuk ke SD Negeri.

Dari beberapa orangtua teman TKnya, diberitahu bahwa di SD negeri biaya pun lumayan mahal. Akan habis juga sekitar 1,5 juta-an. Itu pun masuknya harus pakai antri ambil formulir sejak subuh.

Sabtu lalu, aku sempatkan mampir di SDN 1 Pinang, maksudnya mau nanya kapan pendaftaran dimulai. Disana sama sekali gak ada pengumuman apa-apa. Mungkin karena anak-anak sedang ujian. Yang mendatangiku justru seorang pemuda, entah preman entah tukang parkir yang mencoba menjelaskan bahwa pembukaan siswa baru baru akan buka bulan Juni. Ya sudahlah, aku pun pulang.

Ternyata mau masuk sekolah aja susah. Bertolak belakang dengan keinginan pemerintah agar semua warganya sekolah, minimal SD. Aku jadi terpikir bagaimana yang keluarganya gak mampu ya? Darimana mereka membiayai semua itu? Karena sejak dana BOS ada, sekolah justru menerapkan uang buku dan semuanya lebih tinggi, katanya untuk ini dan itu.

Bahkan kata orangtua teman anakku, ia bisa menitip pengambilan formulir ke salah seornag guru dengan biaya 65 ribu. Ini keterlaluan. Aku jadi ingat di kampung, disana, kalau masuk sekolah yang masuk aja. Sudah. Gak mesti pusing-pusing. Pantas aja di Jakarta ini orang-orang berlomba masuk sekolah swasta. Di kampungku, orang masuk swasta kalau di negeri sudah tak lulus.

Aku iba juga pada Queena karena tak bisa memasukkannya ke sekolah swasta yang agak bagusan. Kondisi keuangan sedang tak memungkinkan. Masuk SD negeri aja yang biayanya sekitar 1,5 juta aku harus pontang panting. Untunglah keluarga besar paham.

Minggu lalu, ibuku mengirimkan uang 500 ribu, katanya buat nambah biaya masuk sekolah Queen. Trus mertuaku juga ngirim 2 stel baju seragam, dan akan ngirim uang juga. Makasih semuanya.... Inilah hakikat keluarga yang saling bantu dalam kesusahan.

Mudah-mudahan semua beres, Queena bisa sekolah mesti aku belum tau kapan harus antre dapetin formulir pendaftarannya... Semua masih belum jelas.

Yang penting sekarang, Queena sekolah aja dulu, dimana saja gak jadi masalah. Nanti kalau sudah ada uang baru dipindahkan ke sekolah yang favorit deh, Insya Allah...


Friday, April 25, 2008

Cerita soal Aie Bangih di Padang Ekspres

Saya menggabiskan masa kanak-kanak di Aie Bangih, maka pas nemu tulisan ini saya jadi rindu sekali melihat Aie Bangih lagi... Main-main ke Tugu, berenang di sepanjang pantai (asal jangan kena kotoran manusia aja) dan berdayung sepanjang muara, atau juga memancing di dermaga pelabuhan...

PADANG EKSPRES

Bertaruh Nyawa di Atas Hantaman Gelombang, Pulau Perawan nan Mahal
Minggu, 13 April 2008
Sample ImageKabupaten Pasaman Barat, salah satu kabupaten di Sumbar, menyimpan banyak kekayaan alam. Tidak hanya sumber tambang, tetapi juga sumber daya alam yang indah dan dapat dijadikan objek wisata bahari unggulan. Di Pasaman, ada sebuah pulau perawan. Pulau Panjang, begitu masyarakat menyebutnya. Transportasi yang minim menjadikan pulau ini objek wisata mahal untuk dikunjungi. Memang tidak mudah untuk sampai ke pulau tersebut. Satu-satunya transportasi

ke pulau berpenduduk 1200 jiwa itu hanyalah perahu motor atau speadboad. Setengah jam, kita harus bertaruh nyawa dengan gelombang laut besar menuju pulau dengan luas 220 hektar tersebut. Dapat dipastikan, objek pulau ini belum dikunjungi banyak orang, kecuali penduduk di sana. Pulau ini tercatat, satu-satunya pulau berpenghuni di Pasaman Barat.

Pulau ini cocok dikunjungi bagi petualang sejati. Berangkat menggunakan Speedboad dari pelabuhan Air Bangis, cukup membuat hati berdebar-debar tidak karuan. Meskipun cuaca tidak terlalu buruk, ombak tetap tinggi menghantam perahu yang ditumpangi. Begitulah keseharian masyarakat Pulau Panjang menjalani kehidupan menuju pulau itu. Masyarakat Pulau Panjang biasanya belanja kebutuhan sehari-hari ke Pasar Air Bangis dengan ongkos Rp 6.000 pulang pergi. Sebagian besar penduduk pulau bekerja sebagai nelayan dan berdagang kecil-kecilan.

Sample ImageWarga dan anak sekolah saat sampai di Pulau Panjang setelah menyeberang dari Air Bangis menggunakan perahu.JPG

Tidak hanya transportasi, tetapi sarana dan prasana di pulau tersebut amat minim, sehingga kebanyakan anak pulau bersekolah ke Air Bangis. Menurut Wali Jorong Pulau Panjang, Ilman Tanjung, 90 persen warga pulau miskin, karena mereka hanyalah nelayan dan pedagang kecil. Pulau ini memiliki keindahan alam yang luar biasa. Pemandangan laut yang haru biru, serta hutan yang masih terjaga. Bahkan budidaya rumput laut berpotensi dikembangkan lantaran kondisi laut yang memungkinkan. Namun sayangnya, masyarakat pulau belum mendapatkan pengetahuan tentang hal itu.

Masyarakat ini membutuhkan pembinaan, begitupun keindahan alam di sana. Butuh sentuhan agar dapat dijadikan wisata unggulan di Pasaman Barat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pulau Panjang. Masyarakat ini meminta pemerintah membangun posko jaga untuk memantau gangguan dari pihak luar. Selain itu, dalam waktu dekat Pemkab Pasbar akan membangun pelabuhan Teluk Tapang yang akan dapat menghidupkan ekonomi di Pulau Panjang.(altas maulana)

Sunday, April 06, 2008

Harga-harga yang Mencekik Leher

Tadi pagi, istri mengeluh. Satu bungkusan kecil yang ia beli dari pedagang sayuran keliling harus ditebus dengan 25 ribu. Padahal biasanya hanya 10 ribuan. Bawang merah yang biasanya bisa beli seribu, sekarang paling sedikit harus membeli seharga 4 ribu. Ada apa di negara ini, sehingga harga-harga seperti tak terkendali?

Dulu saat kecil, aku sering diceritakan ibu tentang masa darurat. Katanya saat itu semua mahal dan langka. Baju pun harus pakai karung goni. Sembako antre, saat itu semua hanya di angan-angan, sepertinya tidak akan pernah terjadi lagi. Tapi kemudian, suasana itu justru menjadi hal biasa sekarang. Antre dimana-mana, bahkan sampai harus ada kartu kendali segala. Ironisnya, antrean itu buat membeli, bukan gratisan... Sudah harga mahal, antre pula. Kloplah sudah keterpurukan bangsa ini.

Bagi sebagian orang mungkin biasa. Tapi, bagi kami yang duitnya pas-pasan sangat memberatkan. Budget bulanan tak pernah sesuai perkiraan. Selalu harus ada hutang... Sebuah yang tak pernah aku alami sebelumnya. Mungkin juga karena sekarang aku hidup di Jakarta yang memang situasinya begitu, tapi seharusnya Jakarta lebih baik dibanding daerah. Karena daerah tentu mengalami yang lebih parah lagi.

Di kampungku PAsaman Barat sana, semua barang harganya lebih mahal karena semua harus dibawa dari Padang, saat harga Aqua galon di kota masih 8 ribu, orangtuaku di Silaping sana sudah harus membelinya 15 ribu. Lalu bagaimana sekarang setelah harga-harga di kota pada naik? Orang-orang di kampung tentu akan mendapatkan efek yang dahsyat.

Di Kompas beberapa hari lalu, ada artikel yang kalimatnya dimulai dengan pertanyaan APA KERJA Pemimpin bangsa ini? Mau ngurus lagu atau sembako? Mau nonton film Ayat-ayat CInta atau ngurus warga miskin.

Siapa yang harus disalahkan kalau ini semua ternyata fenomena global. Disini, tahapan Pemilu sudah mulai kemarin. Pemimpin kita tentu akan sibuk ngurus partai, bukan ngurus rakyat lagi. Minimal sampai pemilu tahun depan. Lalu rakyat mau apa? Apa hanya dimanfaatkan kalau mau kampanye saja?

Alamak, makin pusing kepala kalau memikirkan ini. Seharusnya kita menikmati hidup, bukan memikirkan karena sudah banyak pejabat yang digaji untuk memikirkannya. Tapi apa mereka memang mau memikirkannya? Lha, pembalakan kayu di Kalbar aja yang terlibat justru pejabat-pejabat. Lalu siapa yang bisa nangkap koruptor kalau semua ikut korupsi?

Udahlah, bagusan kita pindah negara aja yuk, tapi negara mana yang mau nampung warga Indonesia? He he he...

Sunday, March 02, 2008

Kelaparan di sekitar kita

Sedih sekali mendengar berita dari Makassar soal kematian seorang ibu dengan anaknya akibat kelaparan. Rasanya sesuatu yang mustahil kok masih terjadi di negeri yang katanya Gemah Ripah loh Jinawi ini.

Mungkin masih banyak Daeng Basse yang lain, bisa saja mereka ada di sekitar kita. Maka alangkah indahnya jika semua kita peduli dengan sesama, minimal dengan orang terdekat di rumah kita agar memastikan tidak ada yang kelaparan hari ini.

Saya selalu bangga dengan kebiasaan di kampung saya yang bagus untuk ditiru. Disana semua persoalan diemban bersama. Jika ada yang kesusahan, yang lain akan membantu. Tak pandang miskin atau kaya, tak pandang saudara atau bukan. Mungkin itu pula yang membuat orang luar yang tugas di kampung saya selalu betah, dan biasanya mereka bahkan menetap kalau sudah pensiun.

Kompas hari ini menyentil Jusuf Kalla dengan nakal di karikatur Panji Komingnya. Disana digambarkan JK yang ngomong bahwa negeri ini sudah sejahtera (yang diucapkannya saat kunjungan di Korsel). JK mengatakan negeri ini sudah sejahtera hanya berdasarkan kemacetan sekeluar bandara, menurut JK itu artinya sudah banyak yang beli mobil. Listirk padam menurut JK juga tanda kemakmuran karena tentu disebabkan banyaknya pemakaian.

Kematian Daeng Basse dan seorang anaknya, plus janin berusia 7 bulan, menampar dengan keras JK karena terjadi di tanah kelahiran JK sendiri. Mungkin ini peringatan bagi petinggi kita yang suka menggampangkan masalah.

Masih ingat saat JK marah karena disebut banyak sekolah seperti kandang ayam? Nyatanya memang begitu, tapi menurut JK itu hanya fitnah yang mencela pemimpin negeri ini. Mudah-mudahan hati nurani pemimpin bangsa ini terbuka.

Kalau Anda baca KOmpas Sabtu, disana ada kartun bagaimana rakyat menanggung beban berat setelah pemerintah mengambilalih pembayaran korban Lapindo. Rakyat yang sudah lelah menanggung beban APBN masih ditambah dengan beban Lapoindo, dan diatas beban itu ada seseorang yang duduk manis dengan tersenyum. Kalau saya tidak salah tafsir, yang duduk manis itu pasti gambaran sosok Aburizal Bakrie...

Kita memang tak bisa menggantungkan semua pada pemerintah, harus mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Maka, pastikan tidak ada warga yang kelaparan di sektar ruimah kita.


Wednesday, February 27, 2008

Semalam di Mukomuko Bengkulu

Gempa di Bengkulu lagi, kali ini 7,2 skala richter, disertai tambahan: Berpotensi Tsunami. Semua heboh, namun ada yang senang, tentu saja produser2 yang acaranya tayang sore, sebab sampai senin sore belum ada berita yang nendang. Ada gempa tentu ada yang baru.

Aku masih ngopi di warung sambil istirahat ketika HP berbunyi. Penugasan ke Mukomuko. Semua serba mendadak dan harus berangkat selasa subuh. Selasa pagi aku dan Arif Firmansyah, kameramen sudah tiba di Bengkulu. Seminggu lalu aku ke Semarang, ikut Dirjen ngambil gambar udara kemacetan Pati, kala itu aku sendirian pegang kamera, kali ini lumayan ada kameramen dan bawa peralatan streaming segala.

Konrtibutor Bengkulu, Syafran sudah menunggu di bandara, dia udah carikan mobil carter. Sehabis sarapan kami langsung meluncur ke Mukomuko yang berjarak 300 km dengan harapan masih sempat ngirim gambar buat tayangan sore.

Apa yang terjadi? Di Mukomuko justru tenang-tenang saja. Bah! Kek mana mau ngirim berita ini? Sama sekali tidak ada pengaruh, kota tetap ramai dan tidak ada kerusakan. Jakarta sempat nggak percaya. "Masa sih nggak ada yang rusak," kata Senprod kami yang baru, Charles Meikyansyah. Begitulah, macam mana awak mau merusak-rusak kalau memang gak ada yang rusak.

Akhirnya aku putuskan itu aja yang jadi berita. Bahwa Mukomuko normal, tak ada kepanikan. Jam 4 sore kami udah mutar2 nyari warnet. Ya ampun, ternyata gak ada warnet disana. Kami pun nyari penginapan agar bisa dapat colokan listrik dan bisa menghidupkan laptop. Akhirnya dapat di Wisma Mama, lumayan juga walau pun TVnya pakai sistem sentral.

Kami pun coba kirim gambar, kali ini pakai Telkomsel Flash. Hidup Dunia! internet kebuka, kirim bisa. Namun, ya ampiunnn, lambreta alias lambat sekali. Pasti karena disana hanya ada sinyal GPRS, bukan 3G. Alhasil, gambar semenit yang dikirim jam 4 sore, baru kelar jam 9 malam. Maka beritanya pun gak bisa di MHI dan Top9. Kemana-mana pun gak bisa karena harus jagain laptop di penginapan.

Humas Pemda Mukomuko sempat menelepon, katanya memang gak ada kerusakan. Bahkan, saat gempa mereka malah sedang meriah melaksanakan perayaan HUT ke-5 Kab Mukomuko. Sehingga data apa pun belum ada tercatat. Besoknya, Bupati dan Humas juga belum bisa memberi keterangan karena katanya ada acara peresmian dua kecamatan pemekaran.

Daripada bingung-bingung, sehabis sarapan kami pun ambil liputan antisipasi warga menghadapi tsunami. Soalnya banyak sekali rambu-rambu keselamatan kalau tsunami tiba yang terpasang disana. Kami sempat ke pantai segala untuk menambah gambar.

Kemana lagi? Ya pulang ke Bengkulu, mudah2an ada liputan di jalan. Benar saja, pas di Desa Bunga Tanjung, ada SD yang masih belajar di tenda. Padahal mereka korban gempa September 2007 lalu. Insting jurnalistikku mengharuskan kami singgah dan meliput. Benar saja, guru2 senang sekali kami datang. Soalnya mereka sudah kesal tidak ada bantuan pembangunan sekolah. 3 tenda yang ada sekarang tinggal satu, karena 2 hari sebelumnya 2 tenda rusak diterjang angin. Sekarang siswa yang semula di 2 tenda itu, pindah ke bangunan yang nyaris ambruk karena tidak ada pilihan lain.

Para siswa belajarnya sengaja menghadap pintu, agar bisa cepat menyelamatkan diri kalau gempa datang. Bangunan itu memang tidak layak sama sekali. Dinding belakangnya sudah tidak ada, dindingnya retak dan atapnya sudah tidak beraturan.

Tapi mengapa bantuan gempa tak sampai ke mereka ya? Soalnya sepengetahuan kita semua, masalah bantuan gempa di Bengkulu ini sudah selesai. Ternyata itu hanya di tingkat atas. Kenyataannya di lapangan, anak-anak masih belajar di tenda. Untung saja Gempa Senin lalu tak merontokkan bangunan di Mukomuko. Kalau ini terjadi bagaimana lagi nasib para korban? Soalnya sisa gempa tahun lalu saja belum tersentuh...

Sekarang (rabu sore) kami sudah di Bengkulu. Menikmati semalam di Mukomuko dan semalam di Bengkulu, negeri Raflesia yang konon ditukarguling dengan Singapura oleh Belanda dan Inggris. Tapi kok Belanda begok benar ya, mau aja nukar Bengkulu dengan Inggris. Bagi Bengkulu, tukar guling Bengkulu dari Inggris ke Belanda adalah satu kesalahan, coba mereka tetap jajahan Inggris, barangkali nasibnya akan berbeda dengan bekas jajahan Belanda yang lain. Ah, andai saja negeri ini benar-benar diurus dengan benar...

Tuesday, February 05, 2008

Derita Ibu Kota, Derita Kita Juga

Alamak Jang, Jakarte kite banjir lagi. Saya kena getahnya lagi gara-gara banjir kali ini. Tahun lalu, motor masuk bengkel karena kerendam. Kali ini badan yang kerendam karena harus nyeberangin banjir.

Jum'at lalu hujan udah turun sejak malam. Kita yang udah paham dengan Jakarte, udah yakin bakalan ada banjir. Makanya pas berangkat ke kantor usai Jum'atan, motor ditinggal aja. Benar aja, pas di perempatan Ciledug, Kopaja 16 yang menuju Tanah Abang udah gak narik lagi. Terpaksa lah kita naik angkot sampai ke lokasi banjir. Benar saja, di depan perumahan Metro Permata, ribuan orang sudah tumpah ruah dengan kesibukan masing-masing. Air sudah setinggi kemaluan orang dewasa (minjam istilahnya reporter-reporter TV dari lapangan itu, he he he).

Orang-orang sudah mulai menyeberang. Ongkosnya 20 ribu untuk orang dan 50 ribu sepedamotor. Wah, kalau begini bisa bangkrut karena ada 3 lokasi banjir yang harus dilalui. Akhirnya aku nekat menyeberang dengan jalan kaki. Baju dan celana dalam ganti sudah di dalam tas, dipersiapkan dari rumah. Benar saja, airnya pas setinggi perut orang dewasa yang pendek, atau setinggi kemaluan orang dewasa yang agak tinggi. Ada juga yang setinggi dada orang dewasa (makanya kurasa istilah para reporter ini salah kaprah). Airnya deras sekali, beberapa motor dan mobil yang nekat akhirnya mogok di tengah jala. Selamat nyeberang ternyata masih ada dua genangan lagi.

Pas menjelang tanjakan tol Karang Tengah, air sudah tidak ada tapi angkot yang gak ada. Terpaksalah jalan kaki lagi ke Mal Puri. Disana baru naik angkot ke kantor. Di kantor suasananya sudah siaga. Banyak rekan yang libur. Ada yang memang kehambat banjir, ada yang iseng aja libur karena pas ada alasan banjir.

Kalau begini terus, mampus lah kita yang di Jakarta ini. Bagaiamana kalau kita tanya pada AHLINYE?

Wednesday, January 30, 2008

27 Januari

27 Januari 2008 lalu,usiaku berkurang setahun. Sudah 33 tahun sekarang. Tak terasa, terasa aku sudah tua. He he he. Seperti kebiasaan kami, Ulangtahun tak diperingati. Pagi-pagi istri dan anak-anak mengucapkan selamat. Lalu ada telepon dari Ayah dan Umak. Sudah. Itu saja. Kami memang tak kenal bagaimana memperingati ulang tahun.


Semua sama saja. Menuruku ini adalah wajar saja. Sama dengan kebiasaan sebagian orang yang pakai cincin kawin, di daerah kami kebiasaan itu juga tidak wajib.


Tak menyangka, 27 Januari tiba-tiba menjadi sangat ramai karena Soeharto meninggal dunia. Kami yang kerja di media, sudah 3 minggu berjaga-jaga. Sampai ada yang sakit dan bosan menunggu. Ada yang standby di RSPP, lalu ada yang berjaga di Cendana. Dua minggu terakhir ada pula yang berjaga-jaga di Astana Giribangun dan di Kalitan Solo. Luar Biasa…


Lebih luar biasanya lagi, semua TV langsung breaking news. Dan aku malah menonton dari rumah. Pas lagi libur. Seperti direncanakan saja, aku menikmati ultah pas libur dan pas kawan-kawan di kantor heboh luar biasa karena ada breaking news. Rasanya dunia ini luas dan menyenangkan sekali. Ha ha ha…


Jadi, buat tahun ke depan, ulangtahunku akan diperingati berbarengan dengan ulangtahun wafatnya Soeharto.

Semua media memberi perhatian luar biasa. Wajar karena melihat ketokohan Soeharto. Namun gak imbang karena semua TV dan media lebih banyak mengekspos pernyataan agar semua warga memberi maaf pada dia. Apa bisa? TV gak mewawancara para korban kekerasan Orde Baru. Masyarakat kita memang bangsa yang pemaaf dan pelupa.


Artis berlomba-lomba datang ke Cendana memberi duka cita. Lalu wawancara dengan infotainment. Padahal waktu hangat-hangatnya isu Anti KKN, mereka juga ikut turun ke jalan. Di negara ini memang serba bermukadua.


Aku masih mahasiswa saat Reformasi tahun 1998. Kami ikut turun ke jalan sampai Soeharto jatuh. Sebuah peristiwa yang luar biasa melihat mahasiswa sekompak itu. Apakah masih akan terulang lagi?


Bagi kami Soeharto adalah sosok negarawan yang tegas dan pintar. Sayangnya kroni dan keluarganya terlalu rakus hingga harus mengorbankan Soeharto. Semua itu memang harus ada yang mempertanggungjawabkan. Makanya lucu saja kalau banyak sekali orang di negeri ini yang minta semua memaafkan Soeharto.


Soeharto memang sosok luar biasa. Di kampung-kampung dan pasar-pasar, semua mengatakan zaman Soeharto lebih baik. Beras murah, semua aman, tak ada antri minyak. Hidup tenang. Berbeda dengan sekarang. Semua harga mahal. Senyumnya sangat khas kalau sedang berkunjung ke daerah. Ribuan orang berbaris di tepi jalan untuk melihatnya. Semua bangga bisa salaman darinya. Bagaimanapun, dia memang negawaran sejati. Yang membuat Indonesia kita saat itu disegani dunia.


Tabloid Bola menggambarkan wafatnya Soeharto dengan prestasi olahraga. Prestasi langsung menukik tajam saat Soeharto turun. Sekarang, saat warga sulit membeli beras dan tempe, petinggi kita malah sibuk minta naik gaji, minta fasilitas dan berbagai macam kasus korupsi.


Kita tentu rindu suasana dulu. Namun tentu bukan soal korupsinya. Cukup pada kondisi kesejahteraan warga saat itu. Dan tentu rindu melihat bangsa ini kembali disegani, baik politik maupun olahraga….


27 Januari, selain tanggal kelahiranku, juga punya catatan peristiwa-peristiwa penting, diantaranya:


Peristiwa

Kelahiran

Meninggal

Hari besar dan peringatan

Saturday, January 26, 2008

Main MP Makin Asyik nih, bisa langsung update Blogspot

Lama gak update MP karena komp kantor gak bisa buka. Ternyata perkembangan MP udah hebat sekale... Kemarin aku nyoba fasilitas import blog dari Blogspot ke MP. Wah, makin asyik aja. Gak perlu dua kali kerja kalau kita punya MP dan Blogger.

Tadinya aku kirain bisanya cuma sebatas import dari Blogspot ke MP saja. Ternyata setelah utak-atik, sekarang sudah bisa otomatis. Kita update MP langsung ada di Blogger ...


"Dua Indonesia"

"Dua Indonesia"

KOMPAS, Sabtu, 26 januari 2008 | 02:49 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Idealnya jangan ada yang putus asa. Sayangnya, banyak yang merasa hidup makin susah.

Dunia menghadapi ancaman resesi global dan melangitnya harga minyak dunia. Stok bahan pokok suka menghilang dan harganya sudah naik semua.

Kondisi politik mulai ”suam- suam kuku” karena persiapan 2009 yang akan diramaikan pesta kaus, bahan pokok, dan rupiah. Masih akan berlangsung lebih dari 100 pilkada yang bukan tak mungkin menimbulkan huru-hara.

Korupsi masih merajalela dan pemberantasannya tetap begitu-begitu saja. Penyidikan, pemberitaan, dan jalan ceritanya masih naik-turun seperti ingus di hidung anak balita Anda.

Jangan lupa, negeri yang suka memegang rekor dunia korupsi terbesar ini sebentar lagi menjadi tuan rumah konferensi antikorupsi internasional di Pulau Dewata. Ha-ha-ha....

Tak pelak lagi, saat ini yang menjadi lingua franca adalah si rupiah. Pejabat, tokoh, dan parpol sedang rajin-rajinnya mengumpulkan rupiah sebanyak-banyaknya.

DPR dan KPU meminta tambahan tunjangan yang mengada-ada. Bintang-bintang sinetron berwajah ganteng saja rela banting setir menjadi politisi supaya enggak jauh-jauh dari kuasa dan rupiah.

Nah, Anda yang berusia separuh abad pasti ingat zaman antrean minyak tanah di rumah ketua RT atau kantor lurah. Setelah 60 tahun kok antrean rakyat masih saja ada?

Di Bundaran HI (Hotel Indonesia) ada kampanye ”Visit Indonesia Year 2008” yang terpampang di billboard raksasa. Ada wajah-wajah Menbudpar Jero Wacik, Gubernur DKI Fauzi Bowo, dan juga presiden serta wapres kita.

Jika billboard itu terpasang di Times Square (New York), Piccadilly (London), atau Ginza (Tokyo) untuk menjaring turis, itu oke-oke saja. Tetapi, kebanyakan orang yang lewat Bundaran HI toh kita-kita juga.

Gambar gadis penari pendet, pantai Pulau Nias, atau ikan- ikan di Bunaken pasti lebih memesona. Lagi pula turis bule enggak nyandak slogan ”Celebrating 100 Years of Nation’s Awakening” alias Perayaan 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang amat bersejarah.

Malaysia, Singapura, dan Thailand dikunjungi rata-rata lebih dari 15 juta turis asing per tahunnya. Target Depbudpar tahun 2008 tak sampai 7 juta turis dari mancanegara.

Oh ya, semua sempat menjadikan berita sakitnya Pak Harto sebagai tontonan belaka. Inilah sirkus yang diembel-embeli pula dengan penampilan badut-badut yang kayak kurang kerjaan aja.

Lemhannas pada akhir 1970-an mau memvonis Bung Karno yang sedang sakit keras: ia pahlawan atau pengkhianat bangsa? Dan 60 tahun kemudian Pak Harto juga mengalami hal serupa.

Bung Karno terkenal dengan slogan ”Jas Merah”. Itu singkatan ”Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Foto utama harian ini beberapa hari lalu menampilkan koboi sedang mencabut senjata dalam pertandingan sepak bola. Itulah cerminan dari kondisi bangsa ini yang bagai penderita gangguan jiwa.

Bayangkan saja, Ketua Umum PSSI Nurdin Halid memimpin rapat dari balik penjara. Pemain- pemain asing pun meniru ulah pemain-pemain lokal yang suka bergaya seperti karateka.

Nah, dalam situasi tak menentu ini pemimpin mestinya tampil di depan kita. Namun, yang terjadi justru sebaliknya karena mereka ibarat ”ada namun tiada”.

Rakyat sih merasa enggak apa-apa karena toh sudah terlalu lama kecewa. Rakyat sudah sering bilang kepada pemimpin, ”Kita hidup sendiri-sendiri saja ya?”

Apa lacur, mau hidup berpisah pun sudah susah. Pemimpin tiap hari kerjanya hanya mengganggu hidup rakyat saja.

Saking gemasnya, rakyat bertanya, ”Gimana kalau kita tukar tempat saja?” Eh, ia malah buang muka.

Pemimpin memang manja. Sudah dapat gaji, rumah, mobil, patwal, bahkan ajudan yang membawakan tas ke mana-mana, tetapi masih mengeluh kurang tidur, enggak sempat ngopi, suka dizalimi, dan gampang bertelinga merah. Ih, kayak pemain sinetron saja!

Inilah bukti tentang kisah ”Dua Indonesia” yang berbeda. Ada Indonesia versi pemimpin yang hidup di awang-awang, ada versi rakyat yang terlalu nyata.

Rakyat butuh kedelai, bukan keledai yang masih saudaranya kuda. Rakyat ingin punya istana, pemimpin tak berhenti main kayak anak balita di Istana Mainan Hoya.

Rakyat rindu prestasi sepak bola untuk mengharumkan nama bangsa di mancanegara. Pemimpin rindu piknik ke mancanegara beli parfum untuk mengharumkan badan mereka.

Itulah kisah tentang ”Dua Indonesia”. Pemimpin telah menarik garis yang berseberangan dan nekat bertentangan dengan rakyatnya.

Padahal, dua adalah angka genap yang—tak seperti angka ganjil—enak dilihat, diucapkan, dan penuh berkah. Mana ada orang pacaran atau kawin bertiga?

Padahal, dua angka kodrati bagi kehidupan alam dan manusia. Lubang hidung, mata, telinga, tangan, dan kaki, jumlahnya pasti bukan lima.

Dan selalu ada kanan dan kiri, atas dan bawah. Manusia lahir dan mati, lalu masuk surga atau neraka.

Bendera kita dwiwarna, proklamator kita Soekarno-Hatta. Tak ada gunanya rakyat dan pemimpin terpisah kayak durian terbelah dua.

Rakyat ingin pemimpin yang mau menyingsingkan lengan bajunya. Rakyat butuh pemimpin yang berbicara apa adanya.

Waktu tinggal sedikit, terlalu banyak tabungan yang terbuang begitu saja. Jangan tunggu rakyat putus asa, lalu marah.

Thursday, January 03, 2008

Pasbar, the real Petrodollar...

Baru-baru ini saya cuti, pulang kampung ke Pasaman Barat. Sebuah kesempatan yang sudah lama saya tunggu-tunggu karena selama 4 tahun aku dan keluarga gak sempat pulang. Seperti sudah diatur saja, pas pulang itu kakekku meninggal dunia sehingga kami ikut hadir disana.

Empat tahun tak bertemu ternyata sudah membuat Pasaman Barat berubah total. Ibarat gadis kampung nan lugu berubah menjadi gadis modern nan santun dan cantik sekali. Bagaimana tidak, kampung-kampung yang dulu terkesan terbelakang, sekarang sudah maju. Anak mudanya pakai HP edisi terbaru, begitu juga dengan yang tua-tua.

Bukan itu saja, di beberapa desa sudah banyak parkir mobil pribadi di depan rumah yang dibangun baru. Ckk, ck... mengagumkan.

Apa yang membuat Pasaman Barat begitu maju? Apalagi kalau bukan KELAPA SAWIT. Ya, sebagian besar desa yang mengalami kemajuan pesat adalah desa yang umumnya menjadi anak angkat perkebunan kelapa sawit berupa perkebunan plasma. Di Desa Air Haji misalnya, perkebunan plasma disana sudah bisa memberikan penghasilan hingga Rp 3 juta per bulan untuk satu kapling lahan. Artinya, penduduk memiliki penghasilan tambahan, karena umumnya warga disana sudah memiliki pekerjaan tetap yang lain.

Memang belum semua plasma berhasil, ada beberapa plasma yang masih membangun, bahkan ada yang masih sibuk berperkara dengan bapak angkatnya. Namun semua itu tidak mengecilkan arti kemajuan di daerah Pasaman Barat. Maka tak heran kalau sudah banyak perantau yang pulang kampung, terutama PNS yang bekerja di daerah lain.

Dua minggu di kampung membuatku begitu segar. Jarang sekali rasanya di Jakarta bisa menikmati makan seenak di kampung.